Catatan Skoliosis: Kenapa Harus Operasi? (Part 2)
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh ^_____^
Belum intro kok judulnya sudah begitu?? Ya karena dokternya juga langsung ngomong kayak gitu nggak pake intro....
Biar nggak bingung maksudnya, penulis ceritain sekarang.
Jadi setelah dapet rujukan ke rumah sakit yang lebih besar, yaitu RSUD Koja, penulis lanjut memeriksakan diri ke sana. Karena belum pernah berobat di sana, penulis harus daftar dulu menggunakan BPJS. Setelah proses pendaftaran selesai baru penulis bisa mengambil nomor antrian untuk konsultasi dengan dokternya.
Di surat rujukan yang diberikan dokter spesialis sebelumnya, beliau menuliskan nama dokter yang harus dituju. Tapi tau sendirilah tulisan dokter gimana, penulis harus tebak-tebakan dulu, ini nama dokternya siapa. Sebenernya dibilangin sama dokternya, "nanti ke dokter He−" NAH dari situ ingatan penulis samar-samar. Sedangkan ada dua dokter spesialis ortopedi dengan inisial tersebut, Hendar dan Heka.
Kayaknya sih Dokter Heka, pikir penulis sok yakin setelah pengamatan yang panjang dan hasil konsultasi dengan teman-teman penulis.
Jadilah penulis ke rumah sakit di hari dokter tersebut ada praktek. Karena jadwal praktek dokternya beda-beda setiap harinya, jadi kalau penulis melewatkan sehari saja, penulis harus menunggu seminggu lagi.
Untungnya antrian untuk pemeriksaan dokter tersebut masih ada, dan penulis dapat slot antrian jam 10.00 - 11.00. Karena sudah hampir jam sepuluh, penulis langsung menuju ke tempat spesialis ortopedi, yang ada di lantai 2. Setelah menyerahkan berkas antrian ke perawat dan melakukan tensi, penulis menunggu dengan tenang. Ramai sekali rumah sakit hari ini. Yah, kapan sih rumah sakit sepi?
Sembari menunggu, penulis membaca-baca ulang pertanyaan-pertanyaan yang ingin penulis tanyakan, termasuk pertanyaan yang nggak jadi penulis tanyain di dokter sebelumnya. Berasa mau ujian aja (memang❤︎).
Sudah hampir jam setengah dua belas tapi penulis belum dipanggil juga. Sekarang antrian nomor berapa, ya?
Duh laper. Apa penulis tinggal aja ya?
Tapi kalau ditinggal nanti tau-tau dipanggil gimana, dong?
Ternyata ngantri periksa di rumah sakit besar gini lama juga, ya. Lama banget malah. Tau gitu penulis jajan atau makan dulu. Hari-hari berikutnya, setiap jadwal kontrol ke rumah sakit penulis selalu bawa jajanan supaya nggak kelaperan kayak sekarang.
Penulis memperhatikan sekeliling, beberapa pasien ngantri sambil nyemil. Ada juga yang bawa jajanan sekresek bening yang kecil, terus makannya disuapin ibunya. Jadi iri (╥﹏╥) walaupun udah sering ke dokter dan rumah sakit sendiri, ada kalanya penulis kangen ke dokter ditemani ibu atau abi. Salah satu tanda kedewasaan memang pergi ke rumah sakit sendiri nggak ditemani orang tua lagi.
Dan pasiennya juga beragam, ada yang pakai kursi roda, kruk, gips, atau perban. Jadi mikir kok penulis nggak keliatan pasien-pasien amat, padahal tulang punggungnya udah meleyot. Nggak keliatan kayak orang sakit.
"Ngantri dari jam berapa, Mbak?" tanya salah seorang pasien, ibu-ibu yang mengenakan jaket Gojek.
"Dari jam 10, bu. Kalau ibu?"
"Saya dari jam 9 tapi belum dipanggil juga." Waduh kalo ibu ini yang dari jam 9 aja belum dipanggil, berapa lama lagi penulis harus menunggu? Karena belum pernah ngantri di rumah sakit, penulis nggak tau kalau ngantrinya bisa selama ini.
"Saya habis jatuh dari motor, nih, Mbak, jari saya patah, tapi udah dioperasi cuman ini baru ganti perban, harus kontrol dulu. Saya udah nunggu lama banget di sini jadi nggak bisa kerja." Dia memperlihatkan jarinya yang terbalut perban. Padahal beliau habis jatuh dari motor, tapi langsung kembali bekerja yang motoran lagi. Salut karena ibu-ibu selalu bisa menerabas rasa takut.
"Kalau mbaknya sakit apa?"
"Saya skoliosis, Bu."
Ibu itu menatap heran, "skoliosis itu apa?"
"Ini bu tulang belakang saya agak miring gitu bentuknya jadi kayak huruf S."
"Oooh...." ia memperhatikan penulis dengan seksama, "nggak kelihatan, ya."
Daz whatem seyin. "Iya bu, kelihatannya di hasil rontgennya."
"Mbak udah ke ruangan itu?" Beliau menunjuk ruangan di samping ruangan dokter umum ortopedi, di depannya tertulis, "Ruang Tindakan Ortopedi". Penulis menggeleng.
Beliau menaikkan alisnya, "harusnya ke ruang itu dulu, Mbak." Penulis bingung juga, masa langsung ditindak hari ini sih? Kayaknya mah nggak mungkin. Lagian penulis baru mau ketemu dokternya hari ini. Emangnya bakal diapain di ruangan itu?
Seiring waktu berlalu, pasien bergiliran keluar masuk ke ruangan dokter. Ibu itu tertidur lelap dalam keadaan duduk. Penulis tetap menahan lapar sambil minum. Tak lama perawat memanggil nama pasien tapi tak ada yang menyahut balik, rupanya sudah giliran ibu di samping penulis ini.
Lapeeeerrrrrrr hiks.
"Radita?" ALHAMDULILLAH AKHIRNYA NAMAKU DISEBUT. Sudah hampir jam setengah dua dan penantian panjang ini berakhir.
"Siang, Dok." Akhirnya kita berjumpa dok hohohoho.
Matanya memicing, "....umurnya 26 tahun, Mbak?"
"Iya, Dok."
"Saya kira 2,6 tahun..." DOK PLS..... Penulis cuma ketawa maklum.
"Hasil rontgennya dibawa, Mbak?" Lalu aku menyerahkan hasil rontgen dari rumah sakit sebelumnya.
"Operasi ini, Mbak."
Hah.
Gimana gimana.
Tanpa intro, tanpa aba-aba, tanpa babibu, langsung ke intinya.
"O-operasi, Dok?"
Dokter mengangguk. "Tapi kita itung dulu ya ini skoliosisnya berapa derajat." Katanya sambil menempelkan lembaran rontgen itu di papan putih, sementara penulis masih cengo.
Hah.
Rasanya segala pertanyaan yang udah penulis siapin tadi menguap, otak langsung nge-blank.
Bukannya penulis tidak expect bakal operasi, sih. Beberapa hari sebelumnya, pas lagi cerita-cerita ternyata salah satu kakak kelas penulis pernah operasi skoliosis juga. Dari dia penulis dapat gambaran kalau skoliosisnya di atas (bagian dada), selama derajatnya masih di bawah 40-45 derajat, nggak perlu dioperasi. Sedangkan kalo skoliosisnya di bagian bawah (dada sampai ke perut) berapapun derajatnya wajib operasi.
Nah, penulis udah ngira kalau ini bakal operasi. Udah sempet cerita ke orang tua juga gimana kalau misalnya harus operasi. Apalagi konon masa pemulihannya lama, bisa 1-2 bulan. Orang tua udah mengiyakan nanti gampang bisa diatur deh kalo emang harus operasi, yang penting sembuh dulu.
Udah mempersiapkan diri taunya tetep kena mental pas dikasih tau langsung sama dokternya. Mana gak pake intro lagi.
Setelah membuka aplikasi di hapenya, lalu memotret hasil rontgen penulis, dokter menunjukkan hasilnya. "39 derajat, Mbak. Udah hampir 40 derajat. Ini mbak baru umur 26 tahun lho udah miring segini." Lalu beliau membuka galerinya. "Ini saya tunjukin ya yang punya salah satu pasien saya, Bunga (nama disamarkan), yang skoliosisnya 88 derajat."
88 DERAJAT?????????? Penulis yang belum 40 aja udah kena mental, gimana yang segituan?
Pas diliatin hasil rontgennya, bentuknya udah keliatan kayak huruf S.
"Skoliosisnya ketauannya nggak sengaja apa gimana, Mbak?" tanya beliau, lalu penulis menjelaskan kronologisnya, seperti yang penulis ceritakan di dokter faskes 1, di episode sebelumnya.
Baca kronologis di sini, "Catatan Skoliosis: Bukan Jompo Biasa (Part 1)
"Penyebabnya kira-kira apa, Dok?"
"Kemungkinan pas lagi masa pertumbuhan, ada ruas tulang punggung yang posisinya salah. Jadi begitu tumbuh, bukannya ke atas, malah jadi miring, Mbak. Apalagi ini kan masa pertumbuhannya udah berhenti, ya. Jadi sisa miring-miringnya aja, nih. Makin tua ntar makin miring." Jelas dokter. Berarti bisa jadi ini memang bawaan dari kecil, cuma baru ketahuan sekarang.
"Hubungannya sama rasa sakit di dada apa, Dok?"
"Karena tulang belakangnya bentuknya nggak lurus seperti yang normal, jadinya posisi organ-organ tubuh Mbak ini sekarang nggak pas pada tempatnya. Jadinya gitu mbak, karena nggak pas, dadanya kerasa sakit, punggungnya cepet pegel." Dari penjelasan dokter itu, penulis menganalogikannya seperti puzzle. Puzzle, meskipun secara urutan dan tata letaknya sudah betul, tapi kalau naruhnya nggak pas, misal agak geser-geser sedikit, jadinya akan tumpang tindih, dan penataan puzzle-nya jadi nggak rapi. Nah, gara-gara skoliosis inilah tubuh penulis jadi nyeri sana-sini.
"Jadi harus operasi ya Dok? Nggak bisa terapi aja?"
Dokter menggeleng. "Nggak bisa, Mbak. Soalnya ketahuannya udah di umur 26. Beda cerita kalau ketahuannya di umur 12, atau pas masa pertumbuhan, masih bisa diterapi. Apalagi posisinya skoliosisnya udah terasa mengganggu karena bikin dadanya kerasa sakit. Nggak operasi juga sebenernya nggak apa-apa, Mbak, cuman ya itu, nanti makin lama bisa makin miring tulangnya."
"Kalau operasi, nanti bisa lurus lagi, Dok?"
"Tulang yang udah miring nggak bisa 100% lurus lagi, Mbak. Tapi dengan operasi, diharapkan nanti tulangnya lebih lurus, dan miringnya nggak semakin parah karena ada nanti dipasang pen di punggungnya."
"Nanti paling efek setelah operasinya kalau lagi hamil."
"Baru saya mau tanya, Dok." Ini adalah satu dari sekian pertanyaan yang sudah penulis siapkan. Hampir aja lupa tadi, untung diingetin.
"Nanti kalau mau punya anak, nggak bisa lahiran normal mbak, harus sesar. Karena punggungnya nggak kuat nahan beban waktu melahirkan, ditambah selama hamil juga udah terasa berat nanti perutnya." Wah.... gitu ya...
Jadi kepikiran.
"Mbaknya sudah nikah?"
"Belum sih Dok." jawab penulis, "terus perlu pake skoliosis braces nggak?" penulis menyebutkan sejenis korset punggung yang biasa dipakai untuk orang-orang skoliosis.
"Nggak perlu, Mbak."
Penulis masih bengong.
"Kalo skoliosis, olahraga yang disarankan apa, Dok?"
"Mbaknya biasanya olahraga apa?"
"Lari." Dari kenyataan.
"Lari boleh, renang boleh, angkat beban juga boleh... nggak ada batasan sih Mbak."
"Angkat beban???" Ini penulis yang salah denger apa salah paham.
"Yah.... jangan yang terlalu beratlah." Oohh, kirain. Trabas ae gitu. "Sering larinya?"
"Paling seminggu sekali." Boong deh, bisa lari sebulan sekali juga udah syukur.
"Yang rajin olahraganya ya Mbak, gak boleh mageran!" Pesan dokter, penulis cuma tersenyum tengsin.
"J-jadi ini langsung operasi apa gimana, Dok?"
"Ya enggak, dong. Mbak kasih tau orang tua, keluarga dulu... diomongin dulu baiknya gimana. Nanti kalau udah fix, baru ke sini lagi, konfirmasi." Penulis manggut-manggut. Maklum, belum pernah operasi soalnya.
"Kalau misal saya mau mindahin ke Malang biar operasi di Malang aja, bisa nggak ya Dok?"
"Hmm, nggak bisa, Mbak. Kenapa kok di Malang?"
"Soalnya orang tua saya di Malang, Dok. Karena kan masa pemulihannya lama, jadi biar ada yang ngejagain nantinya."
"Oh, rumahnya Malang, Mbak? Terus kok periksanya di sini?"
"Soalnya faskes saya di sini."
"Di sini kerja atau kuliah?"
"Kerja, Dok." Raut mukanya keliatan amaze. Udah hampir 4 tahun kerja masih dikira anak kuliahan, mungkin inilah yang dinamakan smol privilege.
"Berarti nanti saya diskusi dulu sama keluarga ya, baru konfirmasi lagi ke sini..."
Dokter mengangguk. "Nanti biar punggungnya bisa lurus kayak pasien saya tadi, si ..."
"—Bunga?"
"Iya si Bunga. Kok tau? Udah kenal ya Mbak?"
Haaaa.......... kan tadi dokter yang ngasih tau................ Sederhana tapi bikin geleng kepala.
Setelah penulis berpamitan, scene selanjutnya udah kayak sinetron. Entah karena shock, overwhelmed karena harus mencerna berbagai informasi tadi, atau karena takut, air mata penulis merebak. Dalam perjalanan dari lantai dua turun ke lantai satu, penulis mati-matian menahan air mata itu buat nggak netes.
Tahan dong, belum nyampe masjid nih.
Ujung-ujungnya jebol sih sebelum nyampe masjid, tapi sambil penulis usap-usap soalnya malu kalo diliat orang. Terus penulis samarin pake air wudhu, tapi tetep aja bendungannya ambrol lagi setelah sholat. Perut rasanya udah nggak laper lagi, cuma pengen mengurung diri dan nangis aja. Tapi kalau nggak makan ntar penulis mati (soalnya punya maag). Rasanya campur aduk.
Tadinya selagi masih jam kantor, setelah periksa penulis mau balik ke kantor. Tapi kalau kondisinya kayak gini kalau misal ditanya-tanyain yang ada nanti penulis jawab sambil nangis-nangis. Jadi penulis minta izin ke atasan dan milih pulang aja. PR banget lagi mata udah semi bengep tapi harus motoran balik ke kosan, mana cuacanya terik banget. Kombinasi maut buat mata memicing lihat jalanan.
Tapi kalau sekarang alhamdulillah udah gak sesedih itu lagi, soalnya air matanya udah dikuras seharian itu buat nangis. Pas ngasih tau ortu juga lancar ngomongnya dan ortu juga langsung mengiyakan. Ibu sampai udah ngatur strategi buat jadwal pengajian selama ditinggal nungguin penulis di sini. Yah itulah gunanya menangis guys, ngurangin beban dan ngurangin rasa takut padahal yang keluar kan air mata #halah #alesan. Intinya sekarang udah bisa diceritain sambil diselipin komedi terselubung, kecuali komedi dokternya emang udah dari sananya.
Segini dulu, selanjutnya nanti cerita pre-operasi sampai operasinya, lengkap dengan komedi-komedi dari dokternya.
Sekarang aku mau mandiin sapi dulu.
Social Counter