Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Jumpa lagi dengan saya tidak lain dan tidak bukaaannn~ (ㆆ ᴗ ㆆ) ya penulis blog inilah.
Walaupun postingan part 1 nya belum rame-rame amat tapi nggak papa barangkali nanti bakal rame, mari kita lanjutkan part 2 dulu~
Baca juga "Catatan Endometriosis: Apakah Ini Penyakit Berbahaya? (Part 1)"
Setelah berdiskusi dengan kedua orang tua penulis, akhirnya penulis memutuskan untuk melakukan terapi hormon. Sebenarnya daripada diskusi, lebih ke ngasih tau orang tua aja sih. Karena toh ujung-ujungnya yang membayar biaya terapi nanti penulis sendiri. Dan ini juga demi kesembuhan penulis karena penulis juga yang paling kerepotan kalau nggak sembuh-sembuh.
Lalu dengan sigap dokter menuliskan resep obat terapi yang dimaksud. "Obatnya diminum sehari sekali ya mbak, di jam yang sama, setiap hari jangan sampai bolong. Kalau misal kelupaan, segera minum obatnya begitu ingat, lalu lanjut minum obatnya tetap sesuai jamnya, seperti hari-hari biasanya."
Penulis menerima resep obat itu tanpa banyak protes, beserta resep obat-obatan yang lain. Berhubung penulis mau liburan ke Korea, jadinya ditambah obat-obatan pereda nyeri buat jaga-jaga, karena nyeri perutnya masih suka hilang timbul, kadang ada kadang enggak.
Lalu penulis menukarkan resep itu di apotek rumah sakit, penulis hanya menerima obat pereda nyerinya saja.
"Obat terapi hormonnya nggak ada di sini, Mbak. Ditukar di apotek luar aja, ya."
Oh, gitu. Oke.
Yah lagipula obat terapi hormonnya nggak ditanggung BPJS. Ada atau enggak pun ujung-ujungnya harus bayar sendiri.
Penulis lalu menukarkannya di apotek terdekat.
"Maaf, Mbak, ini obat apa, ya? Saya nggak pernah tau nama obat ini soalnya...."
Leh?? Mbak aja nggak tau apalagi saya..................
"Obatnya adanya di apotek besar kali, Mbak. Coba ke Apotek L*do."
Penulis yang bukan orang sini alias orang rantau, bingung, "L*do? Di mana ya itu?"
"Itu Mbak yang belakangnya Polres."
"Apotek gede depannya pasar itu lho Mbak." Timpal pembeli lain yang kebetulan ada di situ.
WAH YANG MANA YA ITU??? Ketauan deh nggak pernah explore daerah sini. Akhirnya penulis pulang dengan tangan kosong dan mencari arah menuju apotek yang disebutkan tadi. Penulis nggak langsung ke apotek besar itu karena udah kesorean, takut nyasar juga kalau kurang persiapan. Jaraknya nggak terlalu jauh, cuman karena itu bukan daerah yang biasa dilewati penulis, jadi besok aja deh.
Tapi serius deh, ini obat apa sih? Sampe mbak-mbak apotek aja nggak tau ini obat apa......
Lalu penulis mencoba mencari obat itu di Halodoc. Itung-itung kalau ada, penulis tidak perlu effort ke apotek besar itu dan tinggal duduk manis saja di kosan menunggu obatnya datang. Penulis menginput foto resep dari dokter ke aplikasi Halodoc karena penulis juga nggak tau nama obat ini apa.
Setelah menunggu beberapa saat, ada balasan dari Halodoc via Whatsapp.
Oh nama obatnya Visanne.
Jantung penulis melorot melihat harganya.
(°Д°) 800 RIBU????? UANG MAKAN DARI KANTOR PENULIS SEBULAN AJA NGGAK NYAMPE SEGITU?? PANTESAN NI OBAT NGGAK DITANGGUNG BPJS......... Semuanya jadi masuk akal.
Hampir keluar sejuta sebulan untuk obat it's actually crazy karena lumayan duitnya bisa ditabung. Penulis nggak nyangka kalau harganya akan sefantastis itu. Tapi nggak papa deh katanya pengen sembuh? Lagipula mungkin saja harga di apotek lebih murah daripada di aplikasi?
Berpegang dengan keyakinan itu, besoknya, penulis berhasil sampai di apotek L*do yang ternyata emang beneran gede. Penulis menyerahkan resepnya ke apoteker sambil menunggu, berharap semoga obatnya ada dan harganya lebih murah.
Apoteker datang menyerahkan obatnya. "Udah tau cara minum obatnya kan Mbak?" Penulis mengangguk, jadi dia tidak perlu menjelaskan lagi.
"1 box Visanne isi 2 blister totalnya Rp690.000,00. Mau bayar pake apa mbak?"
WUAH SELISIH 110 RIBU. Untung penulis beli di apotek ini, walaupun harus PP kurang lebih 9 km dari kosan. Ah tapi apalah arti bensin untuk jarak segitu dibanding dengan beli seharga 800 ribu di Halodoc.
Setelah menyelesaikan pembayaran (untungnya apotek itu menerima pembayaran dengan debit karena uang tunai penulis nggak cukup) penulis membawa obat itu pulang. 1 box isi 2 blister. 1 blister isinya 14 pil, jadi total ada 28 pil untuk 28 hari. Ini artinya penulis harus merogoh kocek sebesar 690 ribu setiap bulan untuk stok obat tersebut.
Yah .........
Mau bagaimana lagi, kan!!!
Penulis mencoba mencari obat tersebut di lapak online seperti Tokopedia dan Shopee. Ada banyak apotek yang menjual obat ini di Tokopedia dengan harga sekitar 690 ribu sampai 700 ribuan. Sayangnya obat ini hanya bisa dibeli dengan mengunggah resep, sedangkan resep yang diberikan dokter sudah ditebus di apotek sebelumnya. Jadi jangan lupa kalau terima resep dari dokter, ada baiknya difoto dulu(◞‸◟)Penulis akhirnya minta lagi sih pas kontrol.
FYI kalau beli obatnya langsung di apotek, penulis nggak perlu nunjukin resep. Pernah repurchase obatnya ketika habis, penulis cuma bilang, "Mbak mau beli Visanne 1 box,", langsung dikasih. Tapi nggak tau juga sih bisa jadi tiap apotek beda-beda.
Dengan mempertimbangkan alasan finansial, penulis akhirnya memutuskan untuk repurchase Visanne di Tokopedia saja. Selain harganya lebih murah yaitu 650 ribu, penulis juga dapat cashback Gopay Coins sekitar 45 ribuan setiap pembelian. Walaupun beberapa bulan belakangan Tokopedia sudah nggak bisa combo voucher alias penulis harus memilih antara mau pakai voucher gratis ongkir atau voucher cashback, tapi opsi pembelian ini sudah paling murah karena obatnya langsung diantar ke rumah jadi penulis hemat bensin juga, dapat cashback pula (karena penulis lebih pilih bayar ongkir, toh pake ongkir hemat hanya Rp7.500,00 biasanya sehari langsung sampai). Sebuah solusi yang win-win solution (´∀`)b
Sekian untuk sesi kali ini. Berikutnya penulis akan cerita Visanne dan efek sampingnya bagi penulis :))
No comments:
Post a Comment