[CHSR][carousel][6]

Tuesday, January 9, 2024

Catatan Skoliosis: Kenapa Harus Operasi? (Part 2)

January 09, 2024

 Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh ^_____^


Belum intro kok judulnya sudah begitu?? Ya karena dokternya juga langsung ngomong kayak gitu nggak pake intro....


Biar nggak bingung maksudnya, penulis ceritain sekarang.


Jadi setelah dapet rujukan ke rumah sakit yang lebih besar, yaitu RSUD Koja, penulis lanjut memeriksakan diri ke sana. Karena belum pernah berobat di sana, penulis harus daftar dulu menggunakan BPJS. Setelah proses pendaftaran selesai baru penulis bisa mengambil nomor antrian untuk konsultasi dengan dokternya. 


Di surat rujukan yang diberikan dokter spesialis sebelumnya, beliau menuliskan nama dokter yang harus dituju. Tapi tau sendirilah tulisan dokter gimana, penulis harus tebak-tebakan dulu, ini nama dokternya siapa. Sebenernya dibilangin sama dokternya, "nanti ke dokter He−" NAH dari situ ingatan penulis samar-samar. Sedangkan ada dua dokter spesialis ortopedi dengan inisial tersebut, Hendar dan Heka. 


Kayaknya sih Dokter Heka, pikir penulis sok yakin setelah pengamatan yang panjang dan hasil konsultasi dengan teman-teman penulis.


Jadilah penulis ke rumah sakit di hari dokter tersebut ada praktek. Karena jadwal praktek dokternya beda-beda setiap harinya, jadi kalau penulis melewatkan sehari saja, penulis harus menunggu seminggu lagi.


Untungnya antrian untuk pemeriksaan dokter tersebut masih ada, dan penulis dapat slot antrian jam 10.00 - 11.00. Karena sudah hampir jam sepuluh, penulis langsung menuju ke tempat spesialis ortopedi, yang ada di lantai 2. Setelah menyerahkan berkas antrian ke perawat dan melakukan tensi, penulis menunggu dengan tenang. Ramai sekali rumah sakit hari ini. Yah, kapan sih rumah sakit sepi?


Sembari menunggu, penulis membaca-baca ulang pertanyaan-pertanyaan yang ingin penulis tanyakan, termasuk pertanyaan yang nggak jadi penulis tanyain di dokter sebelumnya. Berasa mau ujian aja (memang❤︎).


Sudah hampir jam setengah dua belas tapi penulis belum dipanggil juga. Sekarang antrian nomor berapa, ya?


Duh laper. Apa penulis tinggal aja ya?


Tapi kalau ditinggal nanti tau-tau dipanggil gimana, dong?


Ternyata ngantri periksa di rumah sakit besar gini lama juga, ya. Lama banget malah. Tau gitu penulis jajan atau makan dulu. Hari-hari berikutnya, setiap jadwal kontrol ke rumah sakit penulis selalu bawa jajanan supaya nggak kelaperan kayak sekarang.


Penulis memperhatikan sekeliling, beberapa pasien ngantri sambil nyemil. Ada juga yang bawa jajanan sekresek bening yang kecil, terus makannya disuapin ibunya. Jadi iri (╥﹏╥) walaupun udah sering ke dokter dan rumah sakit sendiri, ada kalanya penulis kangen ke dokter ditemani ibu atau abi. Salah satu tanda kedewasaan memang pergi ke rumah sakit sendiri nggak ditemani orang tua lagi.


Dan pasiennya juga beragam, ada yang pakai kursi roda, kruk, gips, atau perban. Jadi mikir kok penulis nggak keliatan pasien-pasien amat, padahal tulang punggungnya udah meleyot. Nggak keliatan kayak orang sakit.


"Ngantri dari jam berapa, Mbak?" tanya salah seorang pasien, ibu-ibu yang mengenakan jaket Gojek.


"Dari jam 10, bu. Kalau ibu?"


"Saya dari jam 9 tapi belum dipanggil juga." Waduh kalo ibu ini yang dari jam 9 aja belum dipanggil, berapa lama lagi penulis harus menunggu? Karena belum pernah ngantri di rumah sakit, penulis nggak tau kalau ngantrinya bisa selama ini.


"Saya habis jatuh dari motor, nih, Mbak, jari saya patah, tapi udah dioperasi cuman ini baru ganti perban, harus kontrol dulu. Saya udah nunggu lama banget di sini jadi nggak bisa kerja." Dia memperlihatkan jarinya yang terbalut perban. Padahal beliau habis jatuh dari motor, tapi langsung kembali bekerja yang motoran lagi. Salut karena ibu-ibu selalu bisa menerabas rasa takut.


"Kalau mbaknya sakit apa?"


"Saya skoliosis, Bu."


Ibu itu menatap heran, "skoliosis itu apa?"


"Ini bu tulang belakang saya agak miring gitu bentuknya jadi kayak huruf S."


"Oooh...." ia memperhatikan penulis dengan seksama, "nggak kelihatan, ya."


Daz whatem seyin. "Iya bu, kelihatannya di hasil rontgennya."


"Mbak udah ke ruangan itu?" Beliau menunjuk ruangan di samping ruangan dokter umum ortopedi, di depannya tertulis, "Ruang Tindakan Ortopedi". Penulis menggeleng.


Beliau menaikkan alisnya, "harusnya ke ruang itu dulu, Mbak." Penulis bingung juga, masa langsung ditindak hari ini sih? Kayaknya mah nggak mungkin. Lagian penulis baru mau ketemu dokternya hari ini. Emangnya bakal diapain di ruangan itu?


Seiring waktu berlalu, pasien bergiliran keluar masuk ke ruangan dokter. Ibu itu tertidur lelap dalam keadaan duduk. Penulis tetap menahan lapar sambil minum. Tak lama perawat memanggil nama pasien tapi tak ada yang menyahut balik, rupanya sudah giliran ibu di samping penulis ini.


Lapeeeerrrrrrr hiks.


"Radita?" ALHAMDULILLAH AKHIRNYA NAMAKU DISEBUT. Sudah hampir jam setengah dua dan penantian panjang ini berakhir.


"Siang, Dok." Akhirnya kita berjumpa dok hohohoho.


Matanya memicing, "....umurnya 26 tahun, Mbak?"


"Iya, Dok." 


"Saya kira 2,6 tahun..." DOK PLS..... Penulis cuma ketawa maklum.


"Hasil rontgennya dibawa, Mbak?" Lalu aku menyerahkan hasil rontgen dari rumah sakit sebelumnya. 


"Operasi ini, Mbak."







Hah.


Gimana gimana.


Tanpa intro, tanpa aba-aba, tanpa babibu, langsung ke intinya.


"O-operasi, Dok?"


Dokter mengangguk. "Tapi kita itung dulu ya ini skoliosisnya berapa derajat." Katanya sambil menempelkan lembaran rontgen itu di papan putih, sementara penulis masih cengo.


Hah.


Rasanya segala pertanyaan yang udah penulis siapin tadi menguap, otak langsung nge-blank.


Bukannya penulis tidak expect bakal operasi, sih. Beberapa hari sebelumnya, pas lagi cerita-cerita ternyata salah satu kakak kelas penulis pernah operasi skoliosis juga. Dari dia penulis dapat gambaran kalau skoliosisnya di atas (bagian dada), selama derajatnya masih di bawah 40-45 derajat, nggak perlu dioperasi. Sedangkan kalo skoliosisnya di bagian bawah (dada sampai ke perut) berapapun derajatnya wajib operasi.


Nah, penulis udah ngira kalau ini bakal operasi. Udah sempet cerita ke orang tua juga gimana kalau misalnya harus operasi. Apalagi konon masa pemulihannya lama, bisa 1-2 bulan. Orang tua udah mengiyakan nanti gampang bisa diatur deh kalo emang harus operasi, yang penting sembuh dulu.


Udah mempersiapkan diri taunya tetep kena mental pas dikasih tau langsung sama dokternya. Mana gak pake intro lagi.


Setelah membuka aplikasi di hapenya, lalu memotret hasil rontgen penulis, dokter menunjukkan hasilnya. "39 derajat, Mbak. Udah hampir 40 derajat. Ini mbak baru umur 26 tahun lho udah miring segini." Lalu beliau membuka galerinya. "Ini saya tunjukin ya yang punya salah satu pasien saya, Bunga (nama disamarkan), yang skoliosisnya 88 derajat."


88 DERAJAT?????????? Penulis yang belum 40 aja udah kena mental, gimana yang segituan?


Pas diliatin hasil rontgennya, bentuknya udah keliatan kayak huruf S. 


"Skoliosisnya ketauannya nggak sengaja apa gimana, Mbak?" tanya beliau, lalu penulis menjelaskan kronologisnya, seperti yang penulis ceritakan di dokter faskes 1, di episode sebelumnya.


Baca kronologis di sini, "Catatan Skoliosis: Bukan Jompo Biasa (Part 1)


"Penyebabnya kira-kira apa, Dok?"


"Kemungkinan pas lagi masa pertumbuhan, ada ruas tulang punggung yang posisinya salah. Jadi begitu tumbuh, bukannya ke atas, malah jadi miring, Mbak. Apalagi ini kan masa pertumbuhannya udah berhenti, ya. Jadi sisa miring-miringnya aja, nih. Makin tua ntar makin miring." Jelas dokter. Berarti bisa jadi ini memang bawaan dari kecil, cuma baru ketahuan sekarang.


"Hubungannya sama rasa sakit di dada apa, Dok?"


"Karena tulang belakangnya bentuknya nggak lurus seperti yang normal, jadinya posisi organ-organ tubuh Mbak ini sekarang nggak pas pada tempatnya. Jadinya gitu mbak, karena nggak pas, dadanya kerasa sakit, punggungnya cepet pegel." Dari penjelasan dokter itu, penulis menganalogikannya seperti puzzle. Puzzle, meskipun secara urutan dan tata letaknya sudah betul, tapi kalau naruhnya nggak pas, misal agak geser-geser sedikit, jadinya akan tumpang tindih, dan penataan puzzle-nya jadi nggak rapi. Nah, gara-gara skoliosis inilah tubuh penulis jadi nyeri sana-sini.

This is how puzzle looks if it doesn't perfectly fit (cr. on pic)


"Jadi harus operasi ya Dok? Nggak bisa terapi aja?"


Dokter menggeleng. "Nggak bisa, Mbak. Soalnya ketahuannya udah di umur 26. Beda cerita kalau ketahuannya di umur 12, atau pas masa pertumbuhan, masih bisa diterapi. Apalagi posisinya skoliosisnya udah terasa mengganggu karena bikin dadanya kerasa sakit. Nggak operasi juga sebenernya nggak apa-apa, Mbak, cuman ya itu, nanti makin lama bisa makin miring tulangnya."


"Kalau operasi, nanti bisa lurus lagi, Dok?"


"Tulang yang udah miring nggak bisa 100% lurus lagi, Mbak. Tapi dengan operasi, diharapkan nanti tulangnya lebih lurus, dan miringnya nggak semakin parah karena ada nanti dipasang pen di punggungnya."


"Nanti paling efek setelah operasinya kalau lagi hamil."


"Baru saya mau tanya, Dok." Ini adalah satu dari sekian pertanyaan yang sudah penulis siapkan. Hampir aja lupa tadi, untung diingetin.


"Nanti kalau mau punya anak, nggak bisa lahiran normal mbak, harus sesar. Karena punggungnya nggak kuat nahan beban waktu melahirkan, ditambah selama hamil juga udah terasa berat nanti perutnya." Wah.... gitu ya...


Jadi kepikiran.


"Mbaknya sudah nikah?"


"Belum sih Dok." jawab penulis, "terus perlu pake skoliosis braces nggak?" penulis menyebutkan sejenis korset punggung yang biasa dipakai untuk orang-orang skoliosis.


"Nggak perlu, Mbak."


Penulis masih bengong.


"Kalo skoliosis, olahraga yang disarankan apa, Dok?"


"Mbaknya biasanya olahraga apa?"


"Lari." Dari kenyataan.


"Lari boleh, renang boleh, angkat beban juga boleh... nggak ada batasan sih Mbak."


"Angkat beban???" Ini penulis yang salah denger apa salah paham.


"Yah.... jangan yang terlalu beratlah." Oohh, kirain. Trabas ae gitu. "Sering larinya?"


"Paling seminggu sekali." Boong deh, bisa lari sebulan sekali juga udah syukur.


"Yang rajin olahraganya ya Mbak, gak boleh mageran!" Pesan dokter, penulis cuma tersenyum tengsin.


"J-jadi ini langsung operasi apa gimana, Dok?"


"Ya enggak, dong. Mbak kasih tau orang tua, keluarga dulu... diomongin dulu baiknya gimana. Nanti kalau udah fix, baru ke sini lagi, konfirmasi." Penulis manggut-manggut. Maklum, belum pernah operasi soalnya.


"Kalau misal saya mau mindahin ke Malang biar operasi di Malang aja, bisa nggak ya Dok?"


"Hmm, nggak bisa, Mbak. Kenapa kok di Malang?" 


"Soalnya orang tua saya di Malang, Dok. Karena kan masa pemulihannya lama, jadi biar ada yang ngejagain nantinya."


"Oh, rumahnya Malang, Mbak? Terus kok periksanya di sini?"


"Soalnya faskes saya di sini."


"Di sini kerja atau kuliah?"


"Kerja, Dok." Raut mukanya keliatan amaze. Udah hampir 4 tahun kerja masih dikira anak kuliahan, mungkin inilah yang dinamakan smol privilege.


"Berarti nanti saya diskusi dulu sama keluarga ya, baru konfirmasi lagi ke sini..."


Dokter mengangguk. "Nanti biar punggungnya bisa lurus kayak pasien saya tadi, si ..."


"—Bunga?"


"Iya si Bunga. Kok tau? Udah kenal ya Mbak?"


Haaaa.......... kan tadi dokter yang ngasih tau................ Sederhana tapi bikin geleng kepala.


Setelah penulis berpamitan, scene selanjutnya udah kayak sinetron. Entah karena shock, overwhelmed karena harus mencerna berbagai informasi tadi, atau karena takut, air mata penulis merebak. Dalam perjalanan dari lantai dua turun ke lantai satu, penulis mati-matian menahan air mata itu buat nggak netes.


Tahan dong, belum nyampe masjid nih.


Ujung-ujungnya jebol sih sebelum nyampe masjid, tapi sambil penulis usap-usap soalnya malu kalo diliat orang. Terus penulis samarin pake air wudhu, tapi tetep aja bendungannya ambrol lagi setelah sholat. Perut rasanya udah nggak laper lagi, cuma pengen mengurung diri dan nangis aja. Tapi kalau nggak makan ntar penulis mati (soalnya punya maag). Rasanya campur aduk.


Tadinya selagi masih jam kantor, setelah periksa penulis mau balik ke kantor. Tapi kalau kondisinya kayak gini kalau misal ditanya-tanyain yang ada nanti penulis jawab sambil nangis-nangis. Jadi penulis minta izin ke atasan dan milih pulang aja. PR banget lagi mata udah semi bengep tapi harus motoran balik ke kosan, mana cuacanya terik banget. Kombinasi maut buat mata memicing lihat jalanan.


Tapi kalau sekarang alhamdulillah udah gak sesedih itu lagi, soalnya air matanya udah dikuras seharian itu buat nangis. Pas ngasih tau ortu juga lancar ngomongnya dan ortu juga langsung mengiyakan. Ibu sampai udah ngatur strategi buat jadwal pengajian selama ditinggal nungguin penulis di sini. Yah itulah gunanya menangis guys, ngurangin beban dan ngurangin rasa takut padahal yang keluar kan air mata #halah #alesan. Intinya sekarang udah bisa diceritain sambil diselipin komedi terselubung, kecuali komedi dokternya emang udah dari sananya.


Segini dulu, selanjutnya nanti cerita pre-operasi sampai operasinya, lengkap dengan komedi-komedi dari dokternya.


Sekarang aku mau mandiin sapi dulu.


Friday, January 5, 2024

Catatan Skoliosis: Bukan Jompo Biasa (Part 1)

January 05, 2024

  Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh :)

:)

:) :)

:) :) :D


Padahal udah ada catatan khusus endometriosis, ternyata series catatan ini nambah sekuel, kali ini penulis akan cerita tentang skoliosis.


Skoliosis? Kok tiba-tiba?


"Ini ketauan skoliosisnya nggak sengaja apa gimana, Mbak?" tanya dokter subspesialis waktu itu. Tapi cerita tentang itu nanti dulu. Mari kita mulai dari awal mula penulis mengenal skoliosis.


Awalnya, selama beberapa hari penulis merasakan sakit di bagian dada dan punggung. Kalau yang punggung biasanya penulis tidak terlalu ambil pusing karena mikir emang pada dasarnya penulis jompo aja, kurang olahraga. Apalagi sehari-hari di kantor kalo kerja emang duduk seharian. Nah kalau rasa sakit di dada ini lumayan mengganggu, sudah berhari-hari pula. Kalau memang penyebabnya karena infeksi saluran pernafasan, kok nggak ada batuk atau flu sama sekali? Masa COVID lagi? Penulis mengira-ira, apa mungkin GERD ya? Apa asam lambung penulis udah naik tingkat jadi GERD makanya rasa sakitnya menjalar sampe dada? Atau karena polusi? Konon polusi di Jakarta saat penulis menceritakan ini emang lagi gila-gilaan, nggak tau kalau di masa kalian yang lagi baca ini sekarang. 


Kalau dideskrpsikan, rasa sakit di dada itu sakitnya kayak deg-degan. Kalau deg-degannya terlalu kenceng kan dadanya jadi kerasa sakit, tuh. Nah rasa sakitnya kayak gitu, tapi penulis nggak lagi deg-degan. Jantungnya berdetak kayak biasa aja, tapi di dada rasanya sakit banget. Wah apalagi kalo lagi deg-degan, buat ngomong aja ngos-ngosan rasanya. Selain itu, rasa sakit itu datengnya nggak bisa diprediksi, nggak sekedar setelah penulis beraktivitas misalnya. Bahkan ketika penulis cuma duduk diam atau rebahan aja udah kerasa sakit, bangun tidur pun kerasa nyeri. 


Lalu pada suatu hari, ketika lagi ngaca, penulis menemukan keanehan di pantulan kaca itu.


"Lah, kok ini agak nyerong gini badannya?"


Kalau kalian perhatikan di keyboard, di bawah tombol backspace itu kan ada tanda garis tegak lurus dan garis miring, nah bentuk badan penulis pas ngaca itu gitu. Bagian torso atas tegak, tapi bagian dari bawah dada sampe pinggang agar miring sedikit, nggak semiring garis miring itu tentunya (kalo segitu mah harusnya udah nyadar dari dulu-dulu).


Penulis kepikiran juga, dulu pas tahun 2020, penulis pernah rontgen dada untuk keperluan pelatihan dasar (latsar). Pas nerima hasilnya, berbeda dengan punya teman-teman penulis yang lurus-lurus aja dan nggak ada catatan khusus, punya penulis ada tulisan skoliosisnya. Skoliosis thoracalis kalau nggak salah. Bentuk tulangnya agak meliuk sedikit, seperti ada belokan berbentuk huruf c kecil. Padahal rontgen itu niatnya dilakukan untuk mengetahui jika peserta latsar ada yang menderita TBC.


"Lah ......?"


Tapi karena waktu itu rontgen-nya untuk keperluan administratif, penulis tidak sempat minta penjelasan lebih lanjut kepada dokter. Berkasnya juga keburu dikumpulkan dan latsar dilaksanakan. Mana pas latsar itu penulis guling-guling di paving wah sakit banget rasanya. Mending gelinding di tanah lapangan berumput daripada di pavingan yang keras itu.


Merasa ada yang tidak beres, berawal dari pertimbangan-pertimbangan yang penulis sebutkan di atas, akhirnya penulis memutuskan untuk pergi ke dokter. Di dokter itu penulis ceritakanlah segala macem hal yang penulis rasakan selama ini #curhat.


Lalu setelah diperiksa pake stetoskop, penulis diminta untuk duduk kemudian bagian punggungnya diraba. Karena penulis kurus tulangnya jadi berasa kali ya kalo diraba gitu.


"Wah iya, miring ini, Mbak." kata dokter, "ini harusnya tumbuh lurus gini kan, nah punya Mbak malah ke arah sini." lanjutnya sambil nunjuk di punggung penulis.


"Mbak mau dirujuk ke ortopedi atau saya kasih obat pereda nyeri?" Penulis milih buat dirujuk ke ortopedi aja, biar sekalian jelas ketauan apa penyebabnya dan gimana bentuk tulang penulis sekarang.


Karena dokter tidak memberi diagnosa lebih lanjut terkait rasa sakit di dada penulis, akhirnya penulis yang tanya, "kalau rasa sakit yang di dada gimana, Dok?"


"Bisa jadi ada hubungannya sama punggung Mbak yang miring." Waktu itu penulis heran juga, yang miring kan punggung, apa hubungannya sama rasa sakit di dada? Tapi nanti semuanya terjawab setelah penulis ke spesialis ortopedi.


Lalu setelah mendapat rujukan ke rumah sakit swasta, setelah sesi curhat part 2 dengan dokter spesialis dan menyampaikan diagnosa dugaan skoliosis, penulis langsung diminta untuk melakukan rontgen. Sesi kontrol pertama rontgen saja, sesi kontrol selanjutnya mengambil hasil rontgen dan mendengar sambutan tindak lanjut dari dokter spesialisnya. Jaraknya seminggu pula, selama nunggu itu sambil ditahan-tahan aja rasa sakit di dadanya.


Sebelum masuk ke ruangan dokter untuk kontrol kedua, penulis melihat hasil rontgen-nya yang sudah penulis ambil.


Wah..... gila.


Yang selama ini penulis liat di buku-buku dulu pas masih sekolah, sekarang malah kejadian di badan penulis sendiri. Tulang punggung yang harusnya lurus malah membentuk huruf S. Shock mah enggak, shock banget iya.

Hasil rontgen pertama yang mengonfirmasi bahwa semua ini memang karena skoliosis


"Udah liat hasilnya, Mbak?" Tanya dokter spesialis waktu itu.


"Udah, Dok."


"Yang miring di bawah, ya....." Dokter memperhatikan hasil rontgen itu beberapa saat, kemudian menarik kertas dan pulpen, "saya teruskan rujukannya ke rumah sakit yang lebih besar, ya, Mbak."


Loh, loh... ini nggak langsung ditindak di sini? Malah lanjut rujukan part 2?


"Nanti biar dokter di sana yang memutuskan, di sana ada dokter subspesialis tulang belakang." Jelasnya sambil terus menulis. "Ini hasilnya kan skoliosis, Mbak, nah tapi untuk tindakannya itu berbeda-beda, tergantung berapa derajat skoliosisnya. Nanti akan dihitung berapa derajatnya di sana sama dokternya, dan bagaimana penyembuhannya."


Penulis manggut-manggut aja, kirain dokter bisa langsung tau berapa derajat skoliosisnya dengan sekali lihat, atau udah ada tulisan berapa derajatnya di hasil rontgen itu, ternyata tidak seperti itu cara mainnya kakak. Terus ternyata di atas dokter spesialis masih ada dokter subspesialis. Tapi ada yang masih membuat penulis penasaran.


"Dok, kemarin saya di rujukan faskes pertama keluhannya sakit di dada juga, tapi dokternya bilang itu bisa jadi pengaruh skoliosisnya."


Kemudian dokter menjelaskan secara singkat, bahwa miringnya tulang ini bisa mempengaruhi posisi organ-organ di dalamnya, jadi nggak pas, dan akhirnya terasa sakit. Walaupun tulang saya yang miring di bagian bawah—dari dada sampai pinggang, padahal yang cenderung terasa sakit di bagian dada ke atas.


Akhirnya hari itu penulis pulang dengan tangan nggak kosong sih, soalnya bawa hasil rontgen.


Kalau rame lanjut part 2.



Thursday, January 4, 2024

Catatan Endometriosis: Visanne dan Efek Sampingnya (Part 3)

January 04, 2024

 Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh :)


Mari kita lanjutkan kembali sesi perjalanan penulis bersama endometriosis. Sebenernya agak susah mau nulis catatan kali ini, karena rasanya kayak dipaksa buka kotak yang isinya kenangan nggak enak á‡‚_ᇂ


Sebenernya efek minum Visanne ini nggak semuanya isinya kenangan buruk sih, tapi harus ngerasain buruk-buruknya dulu, setelahnya mah insyaallah enakan :)


Jadi penulis mulai konsumsi Visanne sejak pertengahan akhir Oktober 2022. Awal-awal minum obat ini, perut penulis sudah mulai jarang terasa nyeri tiba-tiba, jarang sakit. Insensitas minum obat pereda nyerinya jadi mulai berkurang (biasanya penulis minum paracetamol di pagi hari buat jaga-jaga biar siangnya nggak kenapa-napa). Lalu ketika waktu haid, haidnya jadi lebih panjang, tapi volume darahnya mulai berkurang. Nah dari sinilah kenangan buruk itu dimulai.


Jadi karena masa haidnya lebih panjang, ada kalanya penulis bingung menentukan kapan harus mandi besar dan sholat. Biasanya penulis hitung saja kalau sudah keluar darah selama 15 hari, maka darah hari ke-16 dan seterusnya penulis anggap darah istihadlah, lalu penulis berwudlu dan sholat seperti biasa. Tentunya sesudah membersihkan area kemaluan sebelum sholat.


Pernah waktu itu ada pembahasan, kalau lagi masa istihadlah gini, tiap sebelum sholat apa harus mandi dulu? Wah kebayang betapa stresnya penulis mendengar pertanyaan itu, dengar doang, belum menanggapi. Soalnya bayangin ya, penulis kan bisa aja istihadlah pas hari-hari ngantor, kalo keterangannya harus mandi besar dulu setiap mau sholat, berarti mau sholat dhuhur dan ashar di kantor aja penulis harus mandi besar dulu. YA APA ENGGAK STRES. Nggak mandi besar aja penulis stres. Kalo kerjanya di rumah aja mungkin masih bearable, walaupun nanti pasti ujung-ujungnya stres juga. Jadi penulis lakukan semampunya penulis aja. Yang penting dibersihin, baru wudlu lalu sholat.


Lalu mulai gak teratur lagi siklus haid penulis. Masa mengeluarkan darahnya bisa sampai 20 hari, sedangkan masa bersihnya (tanpa flek dan tanpa darah) paling lama 10 hari ╥﹏╥ jadinya makin bingung ngitungin masa istihadlahnya. Kalo haid itu kan ada yang hitungan siklusnya masa haid paling lama 15 hari dan masa suci paling sedikit 15 hari. Nah kalo ngikutin hitungan itu, ada tanggal-tanggal yang beririsan jadinya belum dapat 15 hari suci, sudah keluar darah lagi. Ada masanya jadi istihadlah depan belakang. Ini penyebab stres pertama, karena hitungannya membingungkan. Sebenarnya ada hitungan lain yang bisa digunakan, yaitu menghitung berdasarkan kebiasaan atau menghitung berdasarkan sifat darah, yang mana dua-duanya tidak bisa penulis lakukan. Kenapa?


Karena kondisinya memang lagi konsumsi obat, tentu ini adalah kejadian yang di luar kebiasaan. Mau dicocokin ama kebiasaan, malah makin amburadul karena jadwal haidnya yang nggak menentu. Lalu yang kedua, menghitung berdasarkan sifat darah juga tidak bisa penulis ikuti. Karena penulis tidak bisa membedakan darah yang keluar. Kadang merah, kadang merah kecoklatan, kadang coklat tua, kadang keruh, semuanya itu dalam satu siklus. Jadi daripada menebak-nebak, mending penulis pakai hitungan hari saja.


Dan karena posisi istihadlah ini juga lama-lama memberatkan penulis setiap mau sholat. Setiap mau sholat, penulis harus ganti pantyliner (biar nggak susah kalau nyuci celana dalam), selama 5 waktu sholat. Awal-awal masih oke kecuali kalo lagi apes nodanya sampai kena celana dalam, otomatis celana dalamnya juga harus ganti. Jadi kalau lagi di kantor, terpaksa harus pulang balik ke kosan (untungnya kosan penulis tidak jauh dari kantor). Setiap bulan penulis stok pantyliner sebanyak mungkin. Makin hari, makin dijalani kok makin terasa berat. Apalagi kadang pas sholat tiba-tiba kerasa ada yang keluar. Ada kalanya nangis, minta sama Allah biar bisa nggak sih sholatnya yang normal-normal aja gitu kayak orang-orang. Rasanya kok kotor banget. Ditambah lagi, karena pake pantyliner terus-terusan walaupun sudah sering ganti, kemaluan penulis sempat iritasi. Rasanya gatal dan perih, digaruk takut malah tambah parah. Pengen ganti pake menstrual cup aja, kayaknya hidup penulis bakal lebih mudah karena gak repot gonta-ganti pantyliner lagi, tapi penulis terlalu takut mau makenya.


Berkali-kali juga ibu penulis nyuruh penulis buat sabar, soalnya penulis tiap kali telpon pasti ngeluhin soal itu terus. Kapan sih masa-masa kayak gini berakhir?


Antara disuruh milih, stop minum Visanne dan haidnya balik normal lagi tapi dengan endometriosis yang masih nangkring di rahim bonus nyeri tiap bulan, atau tetep minum Visanne tapi dengan risiko muncul flek-flek gak beraturan yang bikin bingung tiap mau sholat, dengan harapan efek endometriosisnya berkurang? Nggak ada yang mending. Mendingan jadi cowok aja kalo gini mah.


Penulis konsultasikan juga ke dokter kalau masih keluar darah/flek, walaupun volume-nya nggak kayak orang haid pada umumnya. Bener-bener cuma flek kayak di awal atau akhir haid, bedanya ini selama 15 hari lebih. Kalau menurut dokter, harusnya setelah minum Visanne ini darahnya berhenti, nggak keluar sama sekali. Karena darah/luruhan dinding rahim ini jadi 'makanan' bagi si kista rahim, jadi dengan minum Visanne akan stop. Kalau masih awal mungkin obatnya masih menyesuaikan, jadi wajar. Masalahnya itu sudah sekitar 3-4 bulan sejak penulis konsumsi obat itu. Akhirnya penulis diresepkan obat-obat untuk menghentikan pendarahan.


Melihat siklus haid penulis yang kacau balau, dokternya tanya, "mbak lagi stres ya? Stres sama kerjaan kantor?" Setelah penulis pikir-pikir, daripada kerjaan kantor, sumber stresnya justru flek-flek gak jelas yang non stop ini dok (ï¿—﹏ï¿— ). Ditanyain kayak gitu juga berasa deja vu soalnya dulu-dulu kalo ke Obgyn pasti dokternya nanyain itu. 


Baca juga "Catatan Endometriosis: Apakah Ini Penyakit Berbahaya? (Part 1)"


((Sebenarnya bisa aja nggak stres kalau penulis posisinya nggak sholat sekalian aja biar nggak galau mulu tiap mau sholat karena ada flek di celana. Tapi kan bukan gitu solusinya!!!!)) Pernah sampe kepikiran kalo penulis hidup di jaman nabi, penulis pasti udah nyamperin Rasulullah SAW buat nanyain perkara yang bikin penulis pusing sendiri ini. Agak di luar nurul emang ngelanturnya soalnya wallahi emang udah sestres itu perkara flek-flek ini. Sampe kalo liat celana bernoda tuh penulis speechless dan tahan napas, sambil mbatin,


"Kan."


Terus untungnya minum Visanne apa dong? Jadi kalau minum rasa sakit dan nyerinya berkurang banget banget. Semakin lama malah makin udah gak ngerasa sakit sama sekali. Dulu sebelum penulis tau kalau penyebab sakitnya ternyata kista rahim, diagnosanya macem-macem. Dari maag, ISK (infeksi saluran kencing), sampe akhirnya kista rahim. Perjalanan mengetahui penyakit itu berbulan-bulan jadi penulis menahan-nahan rasa sakit selama itu juga. Masalahnya penulis kalau lagi nyeri-nyeri gitu malah jadi suka males makan (jangan ditiru!!). TAPI, berkat minum Visanne dan rasa sakitnya berkurang bahkan hilang, nafsu makan penulis pelan-pelan kembali dan mulai rajin makan lagi. Seneng banget sih ini pencapaian besar buat penulis. Walaupun  kalau kata orang-orang badan penulis tetep segitu-gitu aja malah makin kurus, tapi gak papa setidaknya udah gak struggle kalo mau makan udah cukup.




Selain itu, Visanne ini membantu mengecilkan kista rahim penulis. Dari yang awalnya diameternya 3,74 cm jadi 2,81 cm setelah konsumsi selama 5 bulan (perbandingannya dapat dilihat di hasil USG di atas). Teman penulis cerita bahkan dia kistanya mengecil dari 5 cm ke 3 cm setelah konsumsi selama satu tahun. Tapi Visanne ini hanya bisa mengecilkan sedikit saja, nggak terlalu signifikan, dan nggak benar-benar hilang. Kalau mau hilang harus tetap dioperasi. Kalau dijelasin sama dokternya, Visanne ini membantu menghentikan haid/pendarahan karena darah di rahim itu jadi 'makanan' buat kista ini. Sehingga kalau nggak dikasih makan, maka kistanya nggak akan membesar. 


Nah sekian untuk cerita kali ini. Kalau pejuang endometriosis lainnya yang juga konsumsi obat hormon seperti ini, gimana efeknya buat kalian?





Thursday, August 3, 2023

Catatan Endometriosis: Visanne dan Jeritan Dompet (Part 2)

August 03, 2023

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Jumpa lagi dengan saya tidak lain dan tidak bukaaannn~ (ㆆ ᴗ ㆆ) ya penulis blog inilah.


Walaupun postingan part 1 nya belum rame-rame amat tapi nggak papa barangkali nanti bakal rame, mari kita lanjutkan part 2 dulu~


Baca juga "Catatan Endometriosis: Apakah Ini Penyakit Berbahaya? (Part 1)"


Setelah berdiskusi dengan kedua orang tua penulis, akhirnya penulis memutuskan untuk melakukan terapi hormon. Sebenarnya daripada diskusi, lebih ke ngasih tau orang tua aja sih. Karena toh ujung-ujungnya yang membayar biaya terapi nanti penulis sendiri. Dan ini juga demi kesembuhan penulis karena penulis juga yang paling kerepotan kalau nggak sembuh-sembuh.


Lalu dengan sigap dokter menuliskan resep obat terapi yang dimaksud. "Obatnya diminum sehari sekali ya mbak, di jam yang sama, setiap hari jangan sampai bolong. Kalau misal kelupaan, segera minum obatnya begitu ingat, lalu lanjut minum obatnya tetap sesuai jamnya, seperti hari-hari biasanya."


Penulis menerima resep obat itu tanpa banyak protes, beserta resep obat-obatan yang lain. Berhubung penulis mau liburan ke Korea, jadinya ditambah obat-obatan pereda nyeri buat jaga-jaga, karena nyeri perutnya masih suka hilang timbul, kadang ada kadang enggak.


Lalu penulis menukarkan resep itu di apotek rumah sakit, penulis hanya menerima obat pereda nyerinya saja.


"Obat terapi hormonnya nggak ada di sini, Mbak. Ditukar di apotek luar aja, ya."


Oh, gitu. Oke.


Yah lagipula obat terapi hormonnya nggak ditanggung BPJS. Ada atau enggak pun ujung-ujungnya harus bayar sendiri.


Penulis lalu menukarkannya di apotek terdekat.


"Maaf, Mbak, ini obat apa, ya? Saya nggak pernah tau nama obat ini soalnya...."


Leh?? Mbak aja nggak tau apalagi saya..................


"Obatnya adanya di apotek besar kali, Mbak. Coba ke Apotek L*do."


Penulis yang bukan orang sini alias orang rantau, bingung, "L*do? Di mana ya itu?"


"Itu Mbak yang belakangnya Polres."


"Apotek gede depannya pasar itu lho Mbak." Timpal pembeli lain yang kebetulan ada di situ.


WAH YANG MANA YA ITU??? Ketauan deh nggak pernah explore daerah sini. Akhirnya penulis pulang dengan tangan kosong dan mencari arah menuju apotek yang disebutkan tadi. Penulis nggak langsung ke apotek besar itu karena udah kesorean, takut nyasar juga kalau kurang persiapan. Jaraknya nggak terlalu jauh, cuman karena itu bukan daerah yang biasa dilewati penulis, jadi besok aja deh.


Tapi serius deh, ini obat apa sih? Sampe mbak-mbak apotek aja nggak tau ini obat apa......


Lalu penulis mencoba mencari obat itu di Halodoc. Itung-itung kalau ada, penulis tidak perlu effort ke apotek besar itu dan tinggal duduk manis saja di kosan menunggu obatnya datang. Penulis menginput foto resep dari dokter ke aplikasi Halodoc karena penulis juga nggak tau nama obat ini apa.


Setelah menunggu beberapa saat, ada balasan dari Halodoc via Whatsapp.


Oh nama obatnya Visanne.


Jantung penulis melorot melihat harganya.


(°Ð”°) 800 RIBU????? UANG MAKAN DARI KANTOR PENULIS SEBULAN AJA NGGAK NYAMPE SEGITU?? PANTESAN NI OBAT NGGAK DITANGGUNG BPJS......... Semuanya jadi masuk akal.


Hampir keluar sejuta sebulan untuk obat it's actually crazy karena lumayan duitnya bisa ditabung. Penulis nggak nyangka kalau harganya akan sefantastis itu. Tapi nggak papa deh katanya pengen sembuh? Lagipula mungkin saja harga di apotek lebih murah daripada di aplikasi?


Berpegang dengan keyakinan itu, besoknya, penulis berhasil sampai di apotek L*do yang ternyata emang beneran gede. Penulis menyerahkan resepnya ke apoteker sambil menunggu, berharap semoga obatnya ada dan harganya lebih murah.


Apoteker datang menyerahkan obatnya. "Udah tau cara minum obatnya kan Mbak?" Penulis mengangguk, jadi dia tidak perlu menjelaskan lagi.


"1 box Visanne isi 2 blister totalnya Rp690.000,00. Mau bayar pake apa mbak?"


WUAH SELISIH 110 RIBU. Untung penulis beli di apotek ini, walaupun harus PP kurang lebih 9 km dari kosan. Ah tapi apalah arti bensin untuk jarak segitu dibanding dengan beli seharga 800 ribu di Halodoc.


Setelah menyelesaikan pembayaran (untungnya apotek itu menerima pembayaran dengan debit karena uang tunai penulis nggak cukup) penulis membawa obat itu pulang. 1 box isi 2 blister. 1 blister isinya 14 pil, jadi total ada 28 pil untuk 28 hari. Ini artinya penulis harus merogoh kocek sebesar 690 ribu setiap bulan untuk stok obat tersebut. 


Yah .........


Mau bagaimana lagi, kan!!!

Beginilah perwujudan obat yang harga 2 blisternya sekitar 800 ribu via Aplikasi Halodoc


Penulis mencoba mencari obat tersebut di lapak online seperti Tokopedia dan Shopee. Ada banyak apotek yang menjual obat ini di Tokopedia dengan harga sekitar 690 ribu sampai 700 ribuan. Sayangnya obat ini hanya bisa dibeli dengan mengunggah resep, sedangkan resep yang diberikan dokter sudah ditebus di apotek sebelumnya. Jadi jangan lupa kalau terima resep dari dokter, ada baiknya difoto dulu(◞‸◟)Penulis akhirnya minta lagi sih pas kontrol.


FYI kalau beli obatnya langsung di apotek, penulis nggak perlu nunjukin resep. Pernah repurchase obatnya ketika habis, penulis cuma bilang, "Mbak mau beli Visanne 1 box,", langsung dikasih. Tapi nggak tau juga sih bisa jadi tiap apotek beda-beda.


Dengan mempertimbangkan alasan finansial, penulis akhirnya memutuskan untuk repurchase Visanne di Tokopedia saja. Selain harganya lebih murah yaitu 650 ribu, penulis juga dapat cashback Gopay Coins sekitar 45 ribuan setiap pembelian. Walaupun beberapa bulan belakangan Tokopedia sudah nggak bisa combo voucher alias penulis harus memilih antara mau pakai voucher gratis ongkir atau voucher cashback, tapi opsi pembelian ini sudah paling murah karena obatnya langsung diantar ke rumah jadi penulis hemat bensin juga, dapat cashback pula (karena penulis lebih pilih bayar ongkir, toh pake ongkir hemat hanya Rp7.500,00 biasanya sehari langsung sampai). Sebuah solusi yang win-win solution (´∀`)b


Yah sudah pake strategi itupun, keluar 600ribuan tiap bulan itu tetep kerasa sih ha ha ha (ㆆ ᴗ ㆆ)

BTW barangkali ada yang butuh penulis belinya di toko ini! Pengirimannya cepet dan aman, ada cashback toko yang bisa dicombo cashback Tokopedia. Link

Sekian untuk sesi kali ini. Berikutnya penulis akan cerita Visanne dan efek sampingnya bagi penulis :))


Tuesday, August 1, 2023

Catatan Endometriosis: Apakah Ini Penyakit Berbahaya? (Part 1)

August 01, 2023

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh :)


APA KABAR EVERIBADEH HAHAHAH (menyapa warga dengan heboh) (berdebu)


Blog ini hampir 3 tahun terbengkalai gara-gara tagihan custom domain blog ini nggak dibayar-bayar. Posisi penulis lagi males nulis juga padahal dalam 3 tahun itu juga ada pandemi COVID yang mana sebenarnya ada kesempatan buat nulis banyak hal, tapi yah banyak tapinya akhirnya nggak terlaksana. Akhirnya blog ini disetel ke setelan pabrik pake domain gratisan dari blogspot aja. And here i am :) raditapeketo(dot)com you'll be missed. Kapan-kapan beli lagi kalau udah mulai rajin nulis lagi.


Kali ini penulis mau cerita tentang pengalaman penulis. Pada tanggal 13 Oktober 2022, penulis didiagnosa terkena endometriosis. Endometriosis itu apa sih?


Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita mundur ke beberapa bulan sebelumnya.


Trigger Warning: akan banyak diceritakan soal muntah-muntah. Kalau ngerasa nggak nyaman, sebaiknya nggak usah dibaca. 


Kurang lebih sejak pertengahan 2022, perut penulis mulai bermasalah lagi. Penulis memang punya maag, selain itu juga saat haid sering merasa nyeri berlebihan yang kadang sampai muntah. Penulis bolak-balik ke dokter, diagnosa awalnya sih kemungkinan karena maagnya kambuh lagi. Akhirnya diresepkan obat-obat maag.


Ternyata walaupun sudah minum obat, rasa sakitnya masih berlanjut. Beberapa kali saat malam hari perut rasanya sakit seperti ditusuk, saking sakitnya penulis sampai tidak bisa tidur. Penulis ke dokter lagi dan mencoba mengonsultasikan masalah itu, karena obat maagnya tidak membantu, akhirnya diarahkan untuk melakukan tes urin. Dari situ terdapat kemungkinan bahwa penulis terkena infeksi saluran kencing (ISK). Penyebabnya mungkin karena penulis kurang minum air putih dan/atau suka menahan kencing. Lalu penulis disarankan untuk memperbanyak minum air putih minimal 2 liter, tidak menahan kencing dan diresepkan obat dan antibiotik. Jujur saja, penulis sebenarnya tidak mampu minum air 2 liter sehari wkwkwk minum 1 liter lebih saja sudah untung. Soalnya kapasitas segitu terlalu banyak dan yang ada malah setengah hari habis buat beser jadi ya penulis minum semampunya saja.


Dan meskipun obatnya sudah habis, rasa sakitnya masih belum hilang juga. Masih sering tidak bisa tidur di malam hari karena menahan rasa sakit di perut sebelah kiri. Saat haid, kebiasaan nyeri sampai muntah beberapa kali muncul juga. Padahal dulu saat haid penulis tidak teratur penulis sudah jarang muntah-muntah saat haid. Namun beberapa bulan terakhir siklus haid penulis mulai teratur/normal (siklus 28-29 hari dengan masa haid di bawah 10 hari, biasanya siklus 30-31 hari dengan masa haid 15 hari T___T) yang sayangnya justru diikuti dengan kembalinya kebiasaan muntah-muntah penulis.


Lalu puncaknya, tanggal 11 Oktober 2022, penulis pecah telor muntah di kantor.


Di ruangan seksi.


Bencana besar.


Jadi selama ini kalau muntah, muntahnya selalu pas di kosan. Atau kalau sudah kerasa mual-mual nggak jelas, penulis izin pulang lebih awal lalu muntah ketika sudah sampai kosan.


Jadi orang kantor terbengong-bengong liat penulis yang tiba-tiba muntah, karena sebelumnya memang nggak pernah. Paling taunya penulis sering izin karena sakit perut, tapi nggak pernah benar-benar lihat sakitnya seperti apa.


Untungnya, penulis nyetok kresek tak terpakai di meja, jadi pas hampir muntah penulis langsung ngambil kresek itu dan (berhasil) nggak muntah di lantai kantor. Rekan-rekan kerja langsung panik. Penulis juga panik. Soalnya MUNTAHNYA NGGAK BERHENTI-BERHENTI.


FAK FAK INI KENAPA KOK NGGAK MAU STOP???


Tiba-tiba throwback ke tahun 2019 ketika penulis masuk IGD karena muntah nggak berhenti-berhenti sampai isi perut kosong dan hanya muntahin cairan asam. Wah kalau ingat masa itu, rasanya beneran kayak mau mati. Soalnya isi perut beneran udah keluar semua selama hampir sejam DAN MASIH MUNTAH LAGI.


Penulis benar-benar merasa berterima kasih karena rekan-rekan kerja penulis saat itu benar-benar sigap. Mereka segera menyiapkan mobil untuk ke rumah sakit. Rumah sakitnya deket banget sebenarnya cuman karena penulis udah nggak sanggup jadi harus dituntun ke mobil. Dan di mobil penulis MUNTAH LAGI. Udah nggak tau lagi men penulis cuman bisa pasrah.


Baru ketika sudah sampai IGD dan diinfus, penulis nggak muntah lagi.


Long story short, hari itu penulis nggak harus sampai dirawat. Setelah infusnya habis, penulis diizinkan pulang dan diberikan semacam surat rekomendasi (?) untuk periksa ke dokter spesialis Obgyn karena dikhawatirkan ada kista rahim. Namun sebelumnya penulis perlu surat rujukan dari faskes penulis. Akhirnya penulis diantar pulang (malu banget jujur karena pas itu kamar penulis SUPER DUPER BERANTAKAN maklum karena berhari-hari sebelumnya emang lagi sakit-sakitan) dan beristirahat. Sialnya hari itu hari terakhir pendaftaran beasiswa kuliah ekstensi. Penulis berhasil daftar dan submit semua berkasnya sih, sayangnya saat pengumuman tahap pertama, penulis nggak lolos :")


Keesokan harinya, penulis izin tidak masuk kantor untuk meminta surat rujukan dari faskes penulis. Penulis baru dapat surat rujukannya selepas dhuhur, namun penulis tidak langsung ke rumah sakit karena jadwal dokter spesialis Obgyn baru ada keesokan harinya. 


Penulis berangkat ke rumah sakit mengenakan kaos kantor, kebetulan hari itu di kantor ada acara perayaan, niatnya setelah dari rumah sakit penulis mau langsung ke kantor dan ikut acara tersebut.


Rencananya sih begitu, sampai penulis mendengar diagnosa dokter Obgyn.


"Jika dilihat dari hasil USG, ada endometriosis di rahim mbak, besarnya kurang lebih 3.34 cm."


Wha............?


Dokter menerangkan apa itu endometriosis. Berdasarkan website Alodokter, endometriosis adalah kondisi ketika endometrium tumbuh di luar dinding rahim. Sederhananya, endometriosis itu bentuknya kayak benjolan kecil di dinding rahim, lebih awam disebut sebagai kista rahim. Gejala utama endometriosis ini adalah nyeri hebat pada saat siklus menstruasi. Jadi si endometriosis inilah penyebab nyeri-nyeri perut berlebihan yang penulis rasakan belakangan ini.


Hasil USG tanggal 13 Oktober 2022

Sejak awal haid dulu ketika SMP, penulis sudah sering bolak-balik ke spesialis obgyn. Awalnya dulu karena siklus haid yang tidak teratur (lebih banyak masa pendarahan daripada sucinya, atau lebih dikenal dengan istihadlah). Saat itu dokter mengatakan kemungkinan ini karena masih masa awal haid, efek dari hormon yang masih menyesuaikan dan sebagainya. Lalu saat SMA, mulai upgrade tuh haidnya dari yang dulunya nggak teratur jadi nambah satu penyakit yaitu muntah-muntah saat nyeri haid berlebihan. Ketika berobat ke obgyn lagi, pernyataannya sama. Hasil USG menunjukkan rahimnya normal-normal saja dan kemungkinan karena faktor hormon dan stres. Lalu ketika kuliah kedua gejala ini mulai berkurang, namun siklus menstruasinya kadang-kadang masih panjang. Setelah lulus kuliah siklus menstruasi kacau lagi dan mulai muntah-muntah lagi. Ke obgyn lagi, pernyatannya sama lagi. Rahim aman, kemungkinan faktor hormon dan stres. Sampai-sampai rasanya kalau penulis jadi Avatar, penulis pengen punya kemampuan mengendalikan hormon dan stres. Karena kadang penulis ngerasa biasa aja, nggak stres kenapa-napa, tapi tubuh penulis berkata lain. Jadi suka doubting diri sendiri apa penulis terlalu banyak pura-puranya, ya.


Lalu baru kali ini mendapatkan hasil yang beda. Ternyata ada yang aneh di rahimnya. Ada kistanya. Penulis speechless.


Kena mental juga sih lumayan. Lebih karena nggak tau itu penyakit apaan. Kalo denger namanya "kista rahim" aja rasanya kayak penyakit parah banget, jadi takut.


"Untuk pengobatannya, bisa dengan terapi hormon dan operasi. Namun biaya terapi hormon ini tidak ditanggung BPJS....."


Wah ini nih, bencana satu lagi.


Dan lagi, dokter tidak menyarankan opsi operasi kepada penulis karena posisi penulis belum menikah. Jadi disarankan untuk terapi hormon saja. Namun mengingat biayanya itu, dokter meminta penulis untuk berdiskusi dulu dengan orang tua/keluarga penulis.


Lalu akhirnya penulis pulang, dan mulai mencari tau lebih lanjut tentang endometriosis itu.


Sekian dulu untuk pembukaan cerita terkait endometriosis yang penulis alami. Kalo rame lanjut part 2 ( ๑‾̀◡‾́)σ"




Wednesday, May 6, 2020

Menggunakan Jenius untuk Membayar Transaksi di Google Pay

May 06, 2020
#TerimaKasihJenius :")

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Halo semuanya, apa kabar? Udah lama banget nggak nulis blog ternyata ini blog udah berdebu juga, ya. Bukan tanpa alasan, selain sibuk di kehidupan nyata (hiya sok-sokan), tagihan blog ini kemarin sempat belum dibayar. Nah lho?

Blog ini saya daftarkan di Google Domains yang pembayarannya ditagih setahun sekali, biasanya tagihan keluar di bulan Maret. Dan sebelumnya saya selalu rutin membayarnya menggunakan BNI Debit Online, di mana kita meminta VCN (virtual card number) yang cara kerjanya mirip seperti kartu kredit, namun hanya bisa digunakan dalam sekali transaksi. Berhubung pembayaran Google Domains harus menggunakan kartu kredit sedangkan saya tidak punya, adanya sistem berupa BNI Debit Online ini benar-benar membantu.

Sayangnya, sejak tahun ini, pembayaran menggunakan BNI Debit Online sudah tidak dapat dilakukan. Pembayaran saya terus-terusan ditolak hingga akhirnya sampai di tenggat waktu. Akibatnya, blog saya tidak bisa diakses selama beberapa hari, bahkan lewat alamat pemulihannya sekalipun.

Nggak cuma ditolak sekali tapi berkali-kali cuy, suckid

Saya juga udah sedih, putus asa, sayang banget kalau blog saya ini hilang begitu saja. Jadi saya mencoba mencari alternatif pembayaran dan ketemulah solusinya, dengan kartu-kredit-nggak-rasa-kartu-kredit-sejuta-umat: Jenius.

Jadi, bagaimana cara membayar tagihan Google Pay menggunakan Jenius?


  1. Siapkan akun Jenius yang sudah terisi nominal saldo yang akan dibayar. Kalau belum diisi saldo, silakan top-up dulu. Saran saya, kalau bisa jumlah saldonya dilebihkan, khawatir kalau ada kurang-kurangnya. Misalnya, tagihan saya kemarin jumlahnya Rp165.930,00, jadi saya mengisi saldo Jenius sebanyak Rp200.000,00.
  2. Login ke akun Google Pay menggunakan email yang terdaftar lewat web browser
  3. Pada halaman utama silakan klik "Metode Pembayaran"
  4. Selanjutnya klik "Tambahkan Metode Pembayaran" yang berada di bagian paling bawah
  5. Tuliskan nomor kartu Jenius, masa berlaku (yang tulisannya valid thru), nomor CVC (tiga angka di bagian belakang kartu), nama pemilik kartu, alamat secara lengkap, kemudian klik "Simpan"

  6. Setelah meng-input data kartu, selanjutnya klik "Langganan & Layanan" lalu pilih Google Domains
  7. Klik "Ubah Metode Pembayaran"
  8. Pilih kartu kredit Jenius yang telah didaftarkan (bertuliskan VISA, pastikan nomor kartu benar) kemudian klik "Kirim"
  9. Selesai! Selanjutnya Google akan langsung memotong saldo Jenius lalu mengirimkan notifikasi dan domain blog berhasil diperpanjang untuk setahun ke depan
Sekian tulisan saya kali ini. Selamat mencoba dan semoga berhasil! Kalau masih ada pertanyaan, silakan komen di bawah, saya akan bantu sebisanya. #PesanSponsor Terima kasih, Jenius!

Sunday, November 3, 2019

Unbeatable

November 03, 2019
He who never says the word "sorry"
And she who can't accept rejection

There won't be any chance to argue

Cause the result will be the same

I am the only one to blame.

Sunday, January 27, 2019

Resensi Buku: Paradigma

January 27, 2019
Judul buku: Paradigma
Penulis: Syahid Muhammad
Penerbit: Gradien Mediatama
Cetakan Pertama, September 2018
316 Halaman; 13 cm x 19 cm

Blurb

Kita adalah benang-benang pesan yang kusut tafsiran.
Sekali terurai, malaikat dan setan ikut terselubung.
Menjadi pengacau antara akal dan kelakar.
Di antara kuasa-Nya, kita hanya percikan kekacauan,
memohon peran untuk perang,
yang berdoa dalam dosa.

---

Sejak buku ini terbit, saya sangat tidak sabar untuk segera membelinya. Sayangnya, saya waktu itu belum punya uang jadi Paradigma hanya tersimpan dalam wishlist saja. Akhirnya saat ada pameran buku, saya memutuskan untuk membeli buku ini dengan uang tabungan saya. Saya berekspektasi cukup tinggi apalagi setelah membaca Egosentris, karena saya membuat penilaian yang cukup tinggi untuk novel tersebut.

Paradigma adalah novel yang berdiri sendiri, bukan sekuel dari Egosentris. Namun Syahid Muhammad menghadirkan 'bintang tamu' dari novel tersebut. Seperti Ilana Tan menghadirkan kembali tokoh-tokohnya di Summer in Seoul, Winter in Tokyo, Autumn in Paris, dan Spring in London. Ayo coba tebak siapa yang muncul? (ᇴ‿ฺᇴ)

Rana, seorang mahasiswa yang memiliki hobi melukis, adalah tokoh utama cerita ini. Dia memiliki pemikiran yang dalam dan rasional namun sikapnya yang cenderung lembut sebagai seorang pria membuatnya ia sering dikira gay. Padahal Rana sendiri telah memiliki pacar, Ola, namun orang-orang melihat hubungan mereka tidak begitu baik sehingga dugaan tersebut semakin kuat.

Walaupun telah memiliki pacar, Rana memiliki teman dekat─yang sebenarnya cenderung terlalu dekat─bernama Anya. Anya suka menulis puisi. Mereka sering bertemu untuk saling menceritakan makna dari lukisan atau puisi yang mereka buat. Hal ini membuat Ola semakin cemburu karena Rana tak pernah membahas hal-hal seperti itu dengannya. Anya sendiri diam-diam memendam perasaan pada Rana, walaupun ia tahu ia tidak boleh berharap lebih karena saat ini Rana terikat status dengan Ola.

Selain Anya, Rana juga memiliki satu-satunya sahabat lelaki bernama Aldo. Tidak banyak teman pria yang tahan dengan sikap dan pemikiran Rana. Rana selalu membalas curhat dan keluhan Aldo terkait pacarnya, Karina, dengan kata-kata yang pedas namun masuk akal. Rana menilai Aldo terlalu merelakan dirinya untuk diperbudak oleh Karina tidak peduli meskipun kekasihnya itu banyak mengeluhnya. Akibat kedekatan Aldo dan Rana ini, orang sering salah menafsirkan bahwa mereka sebenarnya lebih dari sekedar sahabat, apalagi jika melihat perlakukan Rana terhadap Ola.

Ola sendiri semakin lama semakin tidak tahan atas sikap Rana. Berkali-kali ia menuntut Rana agar menjadi pacar seperti yang dia inginkan. Baginya, Rana terlalu pendiam dan cuek sehingga kadang-kadang sikapnya tidak mudah dimengerti. Pun banyak tekanan yang mendorong tumbuhnya pikiran bahwa ia hanya bertepuk sebelah tangan dengan Rana. Isu pacarnya itu adalah gay, kedekatannya dengan Anya yang melebihi kedekatan dirinya dengan Rana, Rana yang selalu menolak jika ia ingin bertemu dengan orang tuanya, serta dukungan dari teman-temannya yang menganggap Rana itu aneh, membuat hubungannya dengan Rana semakin renggang.

Suatu ketika, Anya mengajak Rana untuk bertemu dengan sahabat lamanya, Felma, yang berkuliah di UGM (Rana dkk berkuliah di Bandung). Dan pertemuan itu adalah awal yang mengubah segalanya.

Pasti pada mikir ceritanya bakal agak-agak menjerumus ke LGBT gitu, kan? Saya juga awalnya mikir gitu tapi ternyata TIDAK SEMUDAH ITU FERGUSO :)

Sebenarnya dilihat-lihat, cara berpikir Rana ini mengingatkan saya pada sosok Fatih. Bedanya Fatih cenderung lebih ekstrem (meskipun pada dasarnya sih sama saja). Dan Rana memiliki sikap yang lembut yang membuatnya lebih banyak dikelilingi oleh teman-teman perempuan dibanding laki-laki.

Yang saya suka dari Paradigma pertama adalah desain sampulnya. Cover yang masih hitam pekat dengan detail lingkaran di tengah berupa ombak dan bulan sabit kecil yang diposisikan terbalik. Awalnya saya tidak cukup detail memperhatikan sampai saya menyadari ada ilustrasi manusia kecil yang karena ombaknya dipasang jungkir balik, ia terjatuh menuju bulan. Penuh arti dan penuh teori. Tapi karena saya orangnya males mikir yang ribet-ribet, saya sekadar menikmatinya saja tanpa ambil pusing.

Kedua, karena jalan ceritanya lebih jelas dari Egosentris. Paradigma benar-benar berfokus pada Rana, sedangkan di Egosentris ceritanya terbagi menjadi tiga, walaupun kebanyakan masih berpusat di Fatih. Semua tokoh di Paradigma memiliki masalah masing-masing, namun pada akhirnya yang jadi masalah utama adalah milik Rana. Dan yah sama si itu sih soalnya berkaitan, kan wkwkwk.

Ketiga, tidak tanggung-tanggung, Syahid Muhammad membahas tiga penyakit mental di novel ini. Sayangnya kalau saya tulis di sini, nanti bakal langsung ketahuan dong jalan ceritanya bagaimana. Jadi mending kalian baca aja langsung daripada penasaran. Yang jelas, gara-gara satu dari tiga penyakit mental ini, novel yang harusnya bergenre romance ini tiba-tiba berputar 180 derajat menjadi novel misteri semi horor. (ʘ言ʘ╬)

Keempat, banyakkkkkk banget kalimat-kalimat yang menurut saya related af sama kehidupan zaman sekarang. Khas novel Syahid Muhammad bangetlah. Kayak semuanya bisa dijadiin quote gitu. Mana saya kalo baca novel terus nemu kutipan yang bagus gitu, suka saya garis bawahi jadi Paradigma ini penuh dengan coretan pensil saya. 。。゛(ノ><)ノ Berikut salah satu dari ratusan kalimat/dialog yang menjadi favorit saya.
"Kelakuan orang-orang yang takut kehilangan cuma bikin mereka benar-benar kehilangan," katanya singkat yang membuatku justru tertegun.

"Apa yang salah dengan perasaan takut kehilangan? Menurutku itu normal. Rasa sayang dan takut kehilangan itu satu kesatuan."

"Defensif basi," tukasnya dingin. "Buatku, satu-satunya yang bisa kulakukan kalau takut kehilangan seseorang, adalah dengan berusaha menjadi pantas untuk tidak ditinggalkan."
Emang mantep banget si Rana ini pemirsa. Saya juga kagum sambil geleng-geleng kepala. Ada lagi nih. Rasanya nggak cukup kalau dari sekian banyaknya yang saya cantumin cuma satu.

Di mata Pak Sobar, macam-macam penyakit jiwa hanyalah teori-teori lain dari kelalaian manusia yang terlalu lama meninggalkan Tuhannya.
Saya masih nggak yakin teori ini benar apa salah. Yang jelas, nge-judge mereka yang punya penyakit mental dengan kalimat-kalimat "coba dilihat ngajinya", "coba tengok sholatnya", "dia mah emang jarang ibadah, makanya hatinya nggak tenang" adalah suatu hal yang KELIRU BESAR. Emang tekanan hidup sekarang yang makin besar, dan mungkin juga memang mentalnya yang lemah, bukan semata-mata seberapa banyak pahala yang sudah dikumpulkan.

Cuma yang saya bingung ternyata ada satu tokoh yang saya rasa nggak muncul sampai akhir. Nasib si Karina itu bagaimana, ya? Apakah cukup begitu saja? Memperbudak Aldo? Atau masih ada kelanjutannya?

Oiya, berhubung di setiap bab-bab novelnya Syahid Muhammad selalu menyisipkan puisi-puisi pendek, tentu saja tidak afdhol rasanya kalau saya tidak mencantumkan puisi favorit saya.
Tak ada yang punya kuasa memilih
Untuk menjadi yang terpilih
Tuhan dan ajudannya
Dan setan dan malaikatnya
Membercandai manusia
Untuk bersaksi atas apapun
Yang tidak diinginkan
Kalau saya pribadi sih, saya masih prefer Egosentris hehe soalnya saya kurang sreg sama ending-nya Paradigma. Tapi secara keseluruhan, kalau kalian menikmati Egosentris, nggak bakal nyesel kalau beli Paradigma juga. Saya jamin, deh.

Sepertinya setelah ini saya harus menabung untuk membeli Kala dan Amor Fati. ╮(╯_╰)╭ Atau ada yang mau beliin? Hehehehehe.

Friday, January 25, 2019

Resensi Buku: Dan Hujan Pun Berhenti...

January 25, 2019
Judul buku: Dan Hujan Pun Berhenti...
Penulis: Farida Susanty
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Cetakan Keempat, Agustus 2017
322 halaman; 13 x 19 cm

Blurb

"Kamu mau bunuh diri?"
"Ya, asal tidak hujan."

Kamu mungkin tidak akan mengerti Leo yang tidak percaya pada siapa pun di dunia ini.
Tapi mungkin Spiza, gadis yang mencoba bunuh diri di sekolahnya, bisa.

-----------------------

Novel ini memang novel lama, yang hitsnya di tahun 2000-an. Saya sudah familiar dengan novel ini sejak masih SMA. Entah kenapa tiap saya masuk perpustakaan sekolah dan mampir di rak-rak novel, novel ini selalu memancing perhatian saya namun saya urung membacanya. Saya dulu emang males sih baca novel pinjeman perpus, lebih suka beli sendiri (iya boros banget). Terus novel ini direkomendasiin dong sama sumber racun saya yang terpercaya tidak lain dan tidak bukan si @saturnesss. Katanya baca novel ini sama Forever Monday rasanya bikin pengen ngelempar, ngebanting, segala macem emosi campur aduk.

Dan kenyataannya, itulah yang benar-benar terjadi ketika saya membaca novel ini.

Bercerita tentang Leostrada atau yang lebih sering dipanggil Leo (nama lengkapnya asli panjang banget saya nggak hafal), laki-laki SMA yang memiliki masa lalu yang kelam. Membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang suka memberontak dan tidak penurut. Image preman sekolah sudah melekat padanya. Leo membentuk 'gang' bersama orang-orang yang ia manfaatkan dengan titel 'teman'. Karena pada kenyataannya, meskipun mereka begitu loyal pada Leo, ia sama sekali tidak menganggap pertemanan mereka hal yang berarti. Baginya, ikatan kebaikan dengan orang lain itu tidak ada.

Keluarga Leo adalah keluarga yang kaya raya namun tidak bahagia. Satu-satunya kebahagiaan yang Leo temukan selama ia hidup adalah Iris. Namun satu-satunya kebahagiaan itu telah meninggal dalam sebuah kecelakaan─sebuah kematian yang tak bisa direlakan Leo dan ibu Iris. Ia begitu terpukul dan dengan kondisi keluarganya yang kacau, ia memutuskan untuk kabur dari rumah.

Pertemuannya dengan Spizaetus Caerina membawa perubahan yang besar dalam diri Leo. Gadis itu, Spiza, bertemu dengannya di bawah pohon saat ia menggantungkan teru teru bozu (boneka penangkal hujan). Saat Leo menanyakan alasan mengapa Spiza menggantung boneka tersebut, ia bilang bahwa ia akan bunuh diri, asalkan tidak hujan. (Ini misterius abis dan langsung bikin penasaran).

Baca juga "10 Lagu untuk Didengar Saat Depresi dan Memberimu Kekuatan"

Selanjutnya pada hari yang tidak cerah, sesuai rencana, Spiza bunuh diri di kamar mandi sekolah dengan menyilet tangannya, kemudian menyalakan kran air dan menimbulkan genangan di kamar mandi. Leo memergokinya dan tidak berusaha menyelamatkannya namun pada akhirnya Spiza gagal mati hari itu. Sejak pertemuan tersebut, mereka digiring pada pertemuan-pertemuan selanjutnya yang membuat mereka lebih dekat.

Selanjutnya adalah kejutan-kejutan yang jika saya tulis di sini, saya sama seperti membuka kotak pandora yang artinya kejutan-kejutan lainnya akan terbongkar juga. Jadi saya tulis segini aja sinopsisnya.

Saya mau bilang yang paling nggak saya sukai dari novel ini adalah LEOSTRADA DAN CAPSLOCK. Jadi ngegas, kan.

Tapi serius. Novel ini 50% (atau lebih ya?) isinya huruf balok semua. Nggak tau ya apa ini emang style novel jaman dulu, soalnya kalau jaman sekarang pasti udah dikritik abis-abisan sama Ivan Lannin dan para editor penerbit. Ini bikin saya ngegas dari awal sampe akhir. Cek deh review orang-orang yang udah baca novel ini, pasti kasih komentar yang pertama adalah capslock abuser. Saya juga sebenarnya cukup heran bagaimana novel ini bisa menang Khatulistiwa Literary Award 2007. Dan ternyata si huruf balok ini turut andil dalam menaikkan emosi pembaca. Nggak cuma kata-kata kasar yang disuguhkan, tapi juga harus ditulis menggunakan capslock agar bacanya lebih penuh penghayatan. Yah, kayak umpatan netizen twitterlah (ups).

Terus kenapa saya nggak suka Leo? Soalnya LEO ITU MENDING MATI AJA UDAH JADI MANUSIA NGESELIN BANGET YA ALLAH PENGEN NABOKIN JEDUKIN PALANYA KE TEMBOK SUMPAH YA :((((((( ada gitu manusia yang sifatnya meledak-ledak kayak Leo. Spiza dan Iris yang ada di samping dia tahan banget saya akui mereka adalah dua tokoh tersabar dalam cerita ini. Dan saya menemukan bahwa untuk menangani bocah yang sifatnya kayak Leo ini, kuncinya satu: SABAR DAN TELATEN!

Ini postingan banyak banget huruf baloknya, ya hahahahaha masih kebawa efek dari novelnya nih. (ï½° ï½°;)

Baca juga "Me Over The Social Media"

Tapi novel ini emang punya sesuatu yang lain yang membuatnya layak menang (kalo menurut saya sih) penghargaan tadi. Karena bener-bener mampu membawa emosi pembaca. Dan saya pernah denger kalau novel ini mau dibuat filmnya tapi saya harap itu nggak terjadi. Saya bener-bener nggak rela kalau novel ini difilmin. Soalnya saya udah sering dikecewain film yang diangkat dari novel gitu, kalau aktor Indonesia yang main, saya masih ngerasa kurang percaya hasilnya bakal bagus. Masalahnya menurut saya aktor Indonesia yang mainnya bagus itu cuma sedikit :") dan saya nggak mau nanti kalau ceritanya harus berubah gara-gara dipotong atau hal lainnya. Biarlah novel ini murni seperti ini.

Kalau saya harus deskripsikan novel ini dengan satu kata, kata yang saya gunakan adalah ANJIR.

Hampir dari awal sampai akhir novel saya terus ngulang kata itu. Padahal saya paling nggak suka make kata itu. Karena cerita sebenarnya emang nggak sesederhana Spiza ingin bunuh diri. Mana saya pake nangis segala lagi pas ada yang mati #ups.

Yaa intinya novel ini bercerita tentang mental illness. Tema yang cukup jarang dibahas di pertengahan 2000-an dan masih related sama jaman sekarang. Kalau kalian tipe yang nggak kuat liat tulisan yang acak-acakan, saya sarankan jangan baca novel ini. Tapi kalau kalian penasaran rasanya baca buku yang sampe pengen ngelempar, nyobek, banting dan segala macem, bolehlah buku ini jadi referensi. Saya juga belajar banyak dari novel ini cara menaikkan emosi pembaca haha. Sekian dan selamat berakhir pekan!

About Me

PeketoWritan

Peketo hanyalah nama julukan yang diberikan teman-teman penulis sejak kecil dan akhirnya ia gunakan sebagai nama pena. Kelahiran Malang dan tidak betah panas. Sangat menyukai lemon dan warna kuning. Suka menggambar, membaca novel dan buku pengetahuan umum, serta menulis cerita. Rutinitasnya membaca Webtoon tiap jam sepuluh malam.




Recent Posts

recentposts

Random Posts

randomposts