Saturday, June 23, 2018

Sinetron Mudik 2018: Menggelandang di Solo

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Apa kabar semuanya? Gimana lebarannya? Kenyang? Penulis makan bakso sehari sekali. Bakso udah kayak nutrisi sehari-hari selama lebaran wkwkw. Maklum kalau lagi di rantau baksonya enak tapi penuh dosa karena kaya akan micin.

Sebagai mahasiswa yang kuliah di perantauan, mudik ke kampung halaman jelas jadi hal yang penulis tunggu-tunggu. Tapi rupanya mudik kali ini menolak jadi mudik yang b aja. Ada pengalaman yang terjadi saat mudik, pengalaman yang cukup bodoh dan membuat penulis berpikir lama dan memupuk keberanian sebelum berani menulisnya. Hasilnya ditulis aja, deh, hitung-hitung berbagi pengalaman barangkali ada yang tertimpa kejadian yang sama yekan. Lagian keluarga penulis udah cerita dan agak dilebih-lebihkan jadi penulis sekalian konfirmasi kejadian sebenarnya gimana.

Penulis mudik bersama 2 teman kos penulis (sebut saja si R dan si E) berangkat dari Stasiun Pasar Senen menuju Malang dengan menggunakan kereta api Matarmaja. Penulis bersyukur sekali bisa dapat kereta api Matarmaja yang harganya maish tergolong murah di saat tiket kereta yang lain melonjak fantastis. Dan rezeki untuk pemudik tahun ini, PT KAI memberikan makan buka dan sahur gratis jadi bisa menghemat. Penulis satu gerbong dengan si R, gerbong 3, hanya si E yang gerbong 1. Awalnya si R tidak duduk di seberang tempat penulis, tapi karena permintaan pasutri yang meminta tukar kursi dengan R membuat R mau tidak mau tergusur ke samping penulis.

Sepanjang perjalanan penulis habiskan dengan mengaji, setelah itu membaca novel Laut Bercerita. Lalu berkenalan dengan penumpang di sebelah penulis yang ternyata anak FK UNDIP yang berarti adik tingkat teman penulis, si P. Dan dunia semakin sempit ternyata dia mengenal si P, karena satu organisasi bahkan satu bidang. Jadilah kami ngebacot panjang lebar.

Lalu tragedi pun terjadi.

Penulis punya kebiasaan yaitu salat Maghrib dan Isya di stasiun Solojebres karena biasanya kereta akan ngetem sekitar 30 menit. Kenapa nggak salat di kereta saja? Karena penulis tidak suka kamar mandi kereta yang tau sendirilah bagaimana. Penulis nggak akan ke kamar mandi kalau nggak benar-benar terpaksa. Penulis selalu melakoni kebiasaan ini dan semua baik-baik saja kecuali hari itu.

Sehabis dari kamar mandi stasiun, penulis salat di musala. Lalu datanglah kereta Majapahit yang menghalangi pandangan penulis dengan kereta Matarmaja. Pengumuman berdentangan terdengar tidak jelas. Sesudah salat penulis melintasi kereta Majapahit dan menemukan kekosongan.

Tidak ada kereta Matarmaja di sana.

Penulis sho0k. Lalu ngecek hape dan sudah ada telpon berkali-kali dari R. Dia bertanya penulis di mana dan penulis jawab kalau penulis masih di Solojebres, sedangkan keretanya sudah jalan.

Mampus.

Sebagai info penulis cuma bawa mukenah sama hape.

MUKENAH SAMA HAPE. AJA.

DAN SEONGGOK TUBUH MELONGO KETIMPA NASIB NGGAK BERUNTUNG HSKHSKDKHK.

Penulis balik ke stasiun nyamperin operator. "Pak, saya ketinggalan kereta."

"Matarmaja?"

"Iya, Pak."

"Kok bisa?" nothing is imposible pengen penulis jawab gitu kan tapi ntar malah dikira lagi becanda.

"Soalnya saya salat dulu, Pak."

"Aduh, Mbak. Kalau ditinggal salat ya bahaya, Mbak."

"Tapi biasanya saya gitu, Pak. Kan jedanya 30 menit." udah tau ketinggalan kereta masih ngotot pula ckck.

"Kereta berangkat nggak ngikutin jedanya, Mbak. Tapi sesuai jam keberangkatan. Kalau berangkat 01:45 ya tepat jam segitu berangkat." Penulis tadi ke tempat kereta jam 01:49 pemirsa SELISIH 4 MENIT AJA. Inilah kejadian yang mengajarkan pada penulis bahwa waktu begitu berharga bahkan barang 1 menit.

"Beli tiket kereta tambahan aja, Mbak. Berangkat jam 4 nanti."

"Tapi saya nggak bawa dompet, Pak."

"Barangnya di kereta?"

"Iya, Pak." Kemudian si bapak sibuk mengeluhkan keteledoran penulis. Sudah ketinggalan kereta, nggak bawa dompet pula. Karena lagi nggak digubris, penulis segera mencari siapa yang bisa dihubungi jam segini. Penulis nelpon teman penulis si F yang kebetulan baru turun, barangkali masih di stasiun dan bisa pinjam uang. Sialnya penulis cuma punya kontak LINE jadi nggak diangkat. Lalu bingung lagi. Nanya di grup angkatan SMA siapa yang tinggal di Solo. Nggak ada yang nyahut. R menyarankan penulis nelpon ortu dulu.

Mampus.

Jadi tuh daritadi nggak nelpon ortu karena takut dimarahin.

Tapi mau nggak mau nanti ortu juga harus tahu, kan.

Yaudah akhirnya nelpon. Harap-harap cemas semoga Abi bangun. Nggak diangkat. Mikir lagi. Coba nelpon kakak penulis yang di Kalimantan. Harusnya sekarang di sana sudah jam sahur.

DIANGKAT. SORAK RIANG GEMBIRA.

Penulis ceritakan segala yang terjadi. Lalu kakak menyuruh penulis beli tiket nanti ditransfer. Penulis nanya ke petugas bisa nggak beli nanti bayarnya transfer. Jelas gak bisa kalau beli di loket ya harus pakai uang tunai. Masalah baru, kan.

"Mbak beneran nggak ada duit sepeser pun? 20 ribu atau 50 ribu gitu?"

"Nggak ada, Pak. Cuma bawa mukenah sama hape." KTP aja nggak ada lho untung nyimpen foto KTP di hape. Akhirnya penulis diajak petugas ke loket, dibeliin tiket. Dijelasin ke mas-mas loketnya kenapa kok sampai beli tiket kereta tambahan. Lalu dikeluarkanlah duit Rp109.000,00 untuk bayarin tiket penulis. Penulis maksa minta nomor transfer biar abis ini langsung diganti sama kakak penulis, tapi si bapak nggak mau. Lalu pas masalah tiket udah beres, kakak penulis nelpon lagi. Penulis jawab sambil nangis karena terharu barusan dibeliin tiket. Iya gengs jadi akutu nangis tapi bukan gegara panik dsb dsb tapi gara-gara terharu dibeliin tiket sama petugas tadi. Kalau ketinggalan kereta mah sebenernya aku nggak khawatir-khawatir amat karena pasti ada 1000 cara biar penulis bisa balik ke Malang. Pasti. Kenalan di Solo juga ada. Gitu ya gengs oke. Ya aku emang hatinya lembut jadi nangis tuh gara-gara hal-hal yang mengharukan gini huks.

Nah masih lama tuh nunggu kan. Penulis ditelpon sama ortu penulis. Nangis lagi karena takut dimarahin. Alhamdulillah nggak dimarahin hehe. Jadilah gabut. Mana baterai mau abis makin nggak bisa ngapa-ngapain. Penulis pesen ke R sama E buat ngasih barang penulis ke porter nanti biar dibawa dan dikasih ortu penulis di stasiun. Terus gabut. Gak sahur. Gak boleh ngantuk. Nanti ketinggalan lagi.

"Kereta apa, Mbak?" tanya seorang petugas tiba-tiba karena penulis jomblo banget di stasiun.

"Matarmaja tambahan, Pak."

"Oh, yang ketinggalan kereta tadi, ya?" yoi pak 100 buat bapak.

Gabut lagi. Nguat-nguatin diri nggak usah sahur. Biasanya juga nggak sahur. Pasti kuat, kok.

"Puasa nggak, Mbak?" tanya petugas yang lain lagi.

Maksudnya nanti abis subuh? "Iya, Pak." lalu si bapak pergi dan balik lagi bawa makanan kotak buat di kereta dan air minum. "Buruan dimakan, Mbak. Keburu imsak." terharu lagi, tapi nggak nangis. Dah capek. Lanjut makan sambil ngeliatin tiap kereta yang lewat. Ngecek itu Matarmaja tambahan bukan. Kali aja keretanya lebih cepat datang dari jadwal yagak. Kan suatu kebodohan yang amat sangat memalukan kalau sampai ketinggalan kereta lagi. Keledai aja nggak jatuh ke lubang yang sama dua kali.

Makanan abis, merenung penulis. Dilihat-lihat, penulis udah kayak gelandangan. Nggak ada uang, nggak ada dompet, bahkan bisa dibilang nggak ada identitas juga. Beli makanan nggak bisa, beli tiket dibayarin. Masih untung penulis bawa hape. Biasanya penulis nggak bawa lho kalo mau salat. Di balik kesulitan pasti ada kemudahan.

Dengan kejadian ini lengkap sudah kisah-kasih penulis dengan kereta. Mulai dari mengejar kereta (ini pertama kalinya naik kereta dan udah adegan kejar-kejaran segala berasa Ian di 5cm, persis), diturunin secara paksa dari kereta, sampai ketinggalan kereta.

Baca juga: Kediri Memakan Korban

Dateng tuh kereta akhirnya. Penulis segera masuk, nyari tempat duduk, terus salat subuh (iye daku trauma jadi nggak salat di musala saking takutnya ketinggalan lagi). Abis salat, tanpa basa-basi penulis nyari pinjeman charger hape ke penumpang cowok di samping penulis.

"Mas, bawa charger hape nggak?" Mas yang baik hati itu segera ngeluarin charger-nya sambil nyengir bersalah. "Tapi maaf ya Mbak charger-nya agak susah. Musti dipegangin gitu." Jadilah kami menghabiskan 10 menit untuk mencari posisi wenak agar hapeku dan si charger nyambung. Tentu saja penulis megangin itu charger biar nggak meleset masuknya dan malah jadi nggak ngisi.

"Asalnya Solo, Mbak?"

"Mm, saya abis ketinggalan kereta." Penulis tersipu-sipu malu-maluin. Ngobrol dikit tau kalau masnya kuliah di UB jurusan teknik industri dan asalnya dari Bali. Lalu karena semalaman nggak tidur penulis ngantuk berat jadilah penulis tidur sambil megangin charger.

Sekian deh kisahnya akhirnya penulis tiba di Malang dengan selamat disambut kedua orang tua penulis. Dan ternyata penulis kebarengan teman kos penulis yang lain yaitu si D yang nggak tau apa yang terjadi, heran kok bisa turun bareng sama penulis padahal berangkatnya bareng R dan E. Selama lebaran, selain duit dan doa, penulis menerima nasihat kian banyak yang sama semua, "lain kali nggak usah turun, ya. Salat di kereta aja!"

Hikmah dari kisah ini?

Menjadi kaya itu perlu gengs. Penulis mau naik pesawat aja.

((maaf ya nggak ada dokumentasi karena tau sendiri kan baterai penulis mau abis yakali penulis poto-poto telpon dari orang-orang lebih penting okeiy))

1 comment:

  1. Gue juga suka terharu kalo ada orang yg baik dan ngebaikin gue even on a little things kayak senyumin w ato bantuin ambil bagasi kayak :""""") apalagi kalo sampai kek gini, ngebeliin tiket dsb trus ditawarin makan sahur :((( semoga bapaknya dilancarkan rezekinya dan dimudahin urusannya :"")) ikut nyess w bacanya dit wkwkwk

    ReplyDelete

About Me

PeketoWritan

Peketo hanyalah nama julukan yang diberikan teman-teman penulis sejak kecil dan akhirnya ia gunakan sebagai nama pena. Kelahiran Malang dan tidak betah panas. Sangat menyukai lemon dan warna kuning. Suka menggambar, membaca novel dan buku pengetahuan umum, serta menulis cerita. Rutinitasnya membaca Webtoon tiap jam sepuluh malam.




Recent Posts

recentposts

Random Posts

randomposts