Seorang pembeli di supermarket sedang mencari label halal suatu produk, warga sejagat raya heboh! Ada apa?
Halo semua! Penulis kembali lagi. Tettorettoretttt~
Kali ini bahasan
yang dibawa sedikit serius. Tapi penulis tetap menerapkan metode diskusi. Jadi
bagi yang ingin menyampaikan pendapat terkait tulisan ini nantinya sangat
dipersilahkan. Mengingat adanya perbedaan cara pandang dan berpikir tiap orang.
Penulis hanya ingin menyampaikan informasi yang telah diterima.
Apa arti Halal?
Halal adalah segala sesuatu yang diperbolehkan oleh syariat untuk dikonsumsi. Terutama, dalam hal makanan dan minuman.
Kenapa harus
halal?
Allah telah
berfirman dalam Al-Qur’an:
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
Artinya “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”(QS. Al- Maidah ayat 88)
Dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim Rosulullah Sholallahu Alaihi Wassalam juga menerangkan tentang hal tersebut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ { يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ } وَقَالَ { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ } ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
Artinya
“Sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali hal-hal yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mu’min sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul, Allah berfirman: “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” Dan firmanNya yang lain: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu” Kemudian beliau mencontohkan seorang laki-laki, dia telah menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut serta berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit: Yaa Rabbi ! Yaa Rabbi ! Sedangkan ia memakan makanan yang haram, dan pakaiannya yang ia pakai dari harta yang haram, dan ia meminum dari minuman yang haram, dan dibesarkan dari hal-hal yang haram, bagaimana mungkin akan diterima do’anya.”
Dampak makanan halal tidak hanya baik secara jasmani, namun juga secara rohani. Ada banyak ayat di dalam Al-Qur'an yang mengandung perintah untuk memakan yang halal. Jika sudah tercantum di Al-Qur'an, jelas ini bukan masalah yang bisa dianggap sepele.
Dalam hadits Nabi juga telah disebutkan, bagaimana mungkin akan diterima do'anya jika ia meninggalkan yang halal? Apa yang kita konsumsi ternyata juga dapat berpengaruh pada ibadah kita nantinya.
Di zaman yang
kian modern ini, kita banyak menjumpai beragam jenis makanan dari yang paling
sederhana hingga yang paling nyeleneh. Dari harga paling murah porsi banyak
hingga porsi sedikit harga selangit. Makin nggak karu-karuan. Dari makanan yang
ada label halalnya sampai yang belum jelas halal-haramnya.
Dulu masih ada
Nabi Muhammad SAW yang bisa kita tanyai perihal makanan ini halal tidak, dan
Nabi akan memberi pemaparan yang jelas. Berhubung sudah berabad-abad lamanya,
maka mau tak mau kita kudu punya pegangan sendiri perihal halal tidaknya suatu
makanan.
Penulis
menegaskan: selama masih ada yang halal, pilihlah yang halal!
Penulis pribadi,
sejak menerima banyak informasi perihal halal-haram, menjadi lebih selektif.
Tiap membeli produk makanan berbungkus di supermarket, penulis akan mencari
terlebih dahulu ada label halalnya atau tidak. Jika ada, penulis akan mempertimbangkan
untuk membeli produk tersebut. Jika tidak, penulis akan memilih produk lain
yang setipe namun berlabel halal, meskipun mungkin harus merogoh kocek lebih.
Kalau dilihat di komposisinya dan tidak ada yang
berbahaya, tak masalah, kan?
Persoalan label
halal ini tidak hanya menyangkut kandungan makanan saja.
Ini juga
menyangkut bagaimana produk itu dibuat dan didistribusikan.
Majelis Ulama
Indonesia dalam memberikan label halal itu tidak main-main. Lembaga ini akan
mendampingi proses pembuatan produk itu, bagaimana ia dibuat, bersihkah alat
yang digunakan, sucikah, hingga bagaimana didistribusikan, secara legalkah, dan
sebagainya sampai produk itu tiba di toko untuk dipasarkan. Jika lolos serangkaian
persyaratan, label halal diterima.
Karena kita tidak
pernah tau, apakah benar, misalnya, kecap ini dibuat dengan kondisi yang
steril? Bagaimana jika ternyata mesin yang digunakan sudah karatan? Bagaimana
jika ternyata kedelainya diaduk dengan tongkat penuh jamur? Bagaimana jika
ternyata dalam proses distribusinya ada penjualan ilegal, hasil curian, dan
riba?
Memangnya Anda
yakin, mau makan kecap yang seperti itu?
MUI pasti tidak
akan memberi label halalnya pada produk tersebut. Karena kategori halal ada banyak, MUI pastilah menilai seluruhnya. Tidak hanya kandungan makanannya saja.
Dan memangnya,
seberapa paham Anda persoalan zat-zat makanan yang aman dikonsumsi maupun
tidak? Kecuali Anda bekerja atau pernah belajar soal zat-zat makanan, penulis
tidak bisa menyangkal. Penulis sendiri karena tidak tahu banyak soal zat-zat
itu, karenanya penulis lebih mengutamakan label terlebih dahulu ketimbang
mengecek komposisi. Lagipula, amannya komposisi belum menjamin keamanan proses
produksi.
Dan masalah halal
tidaknya produk tidak hanya pada makanan, barang kebutuhan lainnya, terkadang
juga memerlukan kepastian halalnya.
Tidak jarang kita
melihat ada label halal di produk tisu, shampo, dan lain-lain.
Itu membuktikan
bahwa dalam proses pembuatannya, semuanya halal.
Misalkan Anda
menggunakan suatu sabun yang tanpa Anda ketahui ternyata tercampur dengan lemak
babi. Sudah tentu sabun yang Anda oles-oles di badan itu menebarkan najis.
Akibatnya, tubuh Anda bukannya suci malah menjadi najis. Dan najis ini tidak
akan hilang, kecuali Anda memang mandi dan mengucap niat mandi besar untuk
menghilangkan najis tersebut.
Dalam persoalan
produk berbungkus, penulis memilih pegangan untuk mendahulukan produk-produk berlabel
halal ketimbang produk terkenal namun tidak memiliki label.
Itu kan produk berbungkus, kalau yang makanan di
warung-warung atau pedagang kaki lima kan tidak berlabel?
Untuk soal ini,
penulis punya pegangan lain lagi.
Prinsipnya adalah:
sholat tidak si tukang masaknya?
Tentu tidak
nyaman jika kita bertanya pada si tukang masak secara telak. Maka cara yang
bisa kita gunakan untuk mengetahuinya adalah memperhatikannya secara diam-diam.
Jika saat sudah masuk waktunya sholat orang tersebut meninggalkan dagangannya
untuk sholat, maka penulis bersedia membeli masakan buatannya.
Kenapa harus
sholat?
Jika orang
tersebut sholat, setidaknya kita punya keyakinan bahwa orang tersebut paham
prinsip kesucian atau thaharah. Insya
Allah, dia akan memasak dengan baik dan tidak sembrono. Selain itu, pedagang
yang mendahulukan ibadahnya daripada dagangannya, insya Allah ia muslim yang
taat beragama.
Penulis suka
martabak, lantaran martabak yang pertama kali ia coba adalah hasil masakan
seorang hafizh 30 juz. Martabak itu memang lezat tiada terkira. Selain enak,
dikasih diskon lagi. Maklum kenalan Ayahanda penulis.
Di suatu kampung
yang terpencil di dekat desa tempat penulis tinggal juga ada seorang pedagang
bakso bakar. Dagangannya ludes hanya dalam waktu 3 jam. Bakso tersebut
sebenarnya hanya bakso biasa, malah bakso campuran yang sekitar 65% dagingnya
menggunakan daging ayam. Namun, ia bersikap jujur mengatakan bahwa baksonya
bukan daging sapi asli, dan saat adzan berkumandang ia bergantian dengan
istrinya sholat di musholla dekat warungnya. Gara-gara dagangannya yang kelewat
laku, penulis sampai sekarang belum pernah mencoba baksonya lantaran selalu
kehabisan. Sedih ya gaes.
Penulis pernah
makan bakso di suatu tempat, bukan langganan. Kebetulan lewat sana dan perut
memang sudah keroncongan. Saat membayar makanan, penulis bisa melihat bagaimana
pedagang itu mencuci mangkoknya dengan cara membuang isinya kemudian
mengelapnya dengan lap yang kotor. Bisa kalian bayangkan bagaimana mual dan
menyesalnya penulis setelah itu.
Contohnya
kebanyakan, ya, hehehe. Yah intinya kalau ingin membeli masakan di warung,
carilah yang tukang masaknya adalah orang muslim yang taat, jujur, dan tidak
meninggalkan sholat. Biasanya orang seperti ini dagangannya laris manis.
Di warung-warung
yang ada di mall juga, pilihlah yang berlabel halal. Sudah banyak tempat makan
di mall yang memiliki label halal.
Saya sudah suka sekali dengan suatu makanan, tapi
ternyata tidak ada label halalnya. Saya sedih jika harus meninggalkannya begitu
saja.
Sekarang giliran
kalian.
Ajak saja
penjualnya untuk memiliki sertifikat halal!
Ayahanda penulis
pernah melakukannya. Saat itu produk Roti**y belum ada label halalnya, padahal
roti baru itu rasanya enak sekali. Ayahanda penulis melakukan provokasi.
“Mbak, rotinya
enak begini, nggak ada label halalnya?”
“Tapi bahan-bahannya
halal, kok, Pak. Terjamin.”
“Kalo emang
terjamin, kenapa tidak segera minta pengujian kehalalan saja ke MUI?”
Kalau sudah aman,
kenapa tidak segera meminta label halal? Apalagi yang perlu dikhawatirkan? Apa jangan-jangan
ada yang disembunyikan?
Roti ini sekarang sudah ada halalnya yee aku suka aku suka :3
Zaman mulai
sulit, kita harus pandai-pandai berpikir kritis dan logis.
Selagi masih ada
yang halal, kenapa harus pilih yang lain?
No comments:
Post a Comment