Aku
hanya ingin menyampaikan berita buruk bahwa, pada waktu itu, pemerintah
mengeluarkan maklumat untuk memberhentikan kelas berstatus RMBI atau RSBI di
seluruh Indonesia.
Aku
bersekolah di madrasah tsanawiyah. Sebuah madrasah yang terletak di bagian
selatan kabupaten dan dikelilingi oleh sawah yang hijau. Tempat di mana
angkutan umum hanya berseliweran dari pagi hingga petang. Sebuah madrasah yang
begitu asri dan sejuk.
Dan aku
berhasil masuk kelas RMBI. Sebuah kelas berstandar Internasional dengan
fasilitas yang lebih komplet ketimbang kelas lain. WiFi, kursi lipat ala anak
kuliahan (yang awalnya terlihat elit, namun akhirnya terkesan sempit karena
hanya mampu menampung barang sedikit), izin khusus untuk menggunakan laptop
dalam pembelajaran, proyektor, dan karpet. Fasilitas mewah di sekolah yang mepet sawah.
Aku
bersama kedua puluh empat orang temanku, adalah murid-murid RMBI angkatan
pertama di madrasahku.
Dan
tahu-tahu pemerintah mengeluarkan maklumat itu. Bahkan saat kami belum tuntas
menyelesaikan 3 tahun sekolah dan menyandang gelar elit ‘lulusan RMBI’. Bahkan
saat status kelas kami masih rintisan.
Tidak
apa-apa, ya? Aku hanya curhat.
*
Sejak
kelas delapan, orang-orang di sekelilingku sudah ribut soal ‘sekolah lanjutan’.
Senior high school.
Aku
sendiri tidak ribet memikirkannya, toh masih kelas delapan. Orang-orang ini
memang visioner sekali.
Dan saat
kelas sembilan tiba, banyak orang mulai menghasutku.
Banyak sekolah
yang direkomendasikan kepadaku. MAN Gondanglegi (yang berarti akan menambah
sejarah hidupku di Gondanglegi), MAN 3 Malang (sebenarnya aku tertarik
mendaftar ke sana, namun aku tidak tahu kenapa aku tidak kunjung mendaftar
hingga pendaftarannya ditutup), MAN Malang I (banyak kolega ayahku, dan
sebagian besar alumni sekolahku memang meneruskan sekolah ke sana), MA Almaarif
Singosari (kolega ayahku makin banyak saja, ayahku seorang pengajar di sini.
Sekolahnya memang dekat dengan rumah, namun ayah dan ibuku menyuruhku mondok di NH untuk menghafal Al-Qur’an.
Dua kombinasi yang membuatku agak ngeri), dan MA Amanatul Ummah (aku menyukai
lingkungannya yang begitu asri dan tenang, namun itu juga membuatku tidak ingin
melanjutkan sekolah ke sana karena tempatnya yang terlalu pelosok. Tidak ada
transportasi. Aku bisa gila kalau tidak punya akses untuk melarikan diri).
Semua saran itu seolah masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
Para provokator
juga singgah di sekolahku. Membujuk murid kelas sembilan agar tertarik masuk ke
sekolah yang mereka promosikan. Aku senang mereka datang. Mereka membawa
suvenir gratis yang sangat bermanfaat. Brosur untuk kipas setelah dibaca
baik-baik, bulpen berlogo cuma-cuma, dan notes kecil tempatku berkreasi.
Bukannya
aku tidak menetapkan tujuan sama sekali. Saat itu aku ingat aku ingin masuk
Grafika. Tapi orang tuaku tidak menganjurkannya karena mereka ingin aku
bersekolah di SMA─bukannya SMK. Mereka ingin anak keduanya ini masuk
universitas dan jadi dokter.
Akhirnya,
salah satu hasutan nampaknya tersendat ke otakku.
“Kamu
mau masuk IC?” tanya guru BK-ku, saat istirahat sekolah.
Apa itu
nama sekolah? Terdengar asing. “IC apa Bu?”
“Insan
Cendekia. Sekolah yang didirikan sama Pak Habibie. Sekolahnya jauh di Jakarta
sana. Tapi beasiswa penuh.”
Mataku berbinar-binar
mendengar kata ‘beasiswa penuh’.
“Peminatnya
sangat banyak. Persaingannya ketat.”
Sudah
kuduga.
“Alumni
sini ada yang sekolah di sana, Bu?” aku berharap jika memang ada, maka aku bisa
banyak mencuri informasi darinya. Tentang persiapan tesnya hingga kegiatan
belajarnya.
Guruku
menggeleng. O-ow.
“Dulu
pernah ada kakak kelasmu yang sudah mendaftar ke sana. Sudah lolos seleksi
berkas, tapi gagal saat tes tulis.”
Aku jadi
penasaran. “Kakak kelas saya? Siapa, Bu?”
“Cantik
Multitalenta, yang sering menjuarai banyak perlombaan itu.”
Aku
tercekik.
Weleh, Mbak Cantik Multitalenta ae ora iso lolos! Cek susahe. Sekolah macem
opo IC iki?
Dan sama seperti judul novel kedua dari trilogi The
Hunger Games, aku tersulut. Catching fire.
*
Setelah kupikir-pikir,
membayangkan bersekolah di Jakarta seorang diri tanpa teman maupun kakak kelas
rasanya agak horor.
Jadilah
aku mengajak beberapa temanku. Kumulai dari teman sekelasku. Beberapa tampak
enggan, mengingat lokasi IC yang begitu jauhnya. Tak masalah. Hidup adalah
pilihan. Jika mereka tidak siap, aku bisa beralih.
Karena
mengingat persaingan IC yang begitu sulitnya, aku mendekati teman-temanku yang
berotak superior. Siswa peringkat satu dari kelas yang berbeda.
Singkatnya,
aku berhasil menggaet Pemuda Organisasi dari kelas B dan Idaman Guru dari kelas
D. Aku sendiri berasal dari kelas C. Salah seorang teman sekelasku berubah
pikiran. Akhirnya kami mantap berempat dengan teman sekelasku Gadis Mancung.
Kami
mengurus berkas-berkas yang diperlukan. Guru BK ikut membantu. Ranking paralel.
Sertifikat lomba. Sertifikat pondok. Surat keterangan berkelakuan baik. Semua
berkas beres dan kami mengunggahnya di web pendaftaran. Tinggal menunggu
pengumuman.
*
Sambil
menunggu kepastian dari IC, aku juga mendaftar di sekolah lain.
Aku
beramai-ramai berangkat ke lokasi tes dengan teman-temanku. Bejibun. Kabarnya,
sekolah yang kutuju ini memang hobi disantroni alumni sekolahku. Sama artinya
dengan ‘pindah sekolah’.
Saat itu
aku mengikuti tes gelombang satu. Tes diadakan di siang hari. Aku sudah tidur
di kendaraan tadi agar tidak mengantuk. Ujian di siang hari sangat rawan
bagiku, karena aku punya kebiasaan mengantuk tak tertahankan di jam-jam itu.
Nyatanya,
aku tetap mengerjakan soal dengan kepala pening. Entah apa yang membuat
kepalaku pening. Apa karena aku kurang minum? Atau karena hanya makan siang
dengan roti yang disediakan panitia? Atau karena aku mati-matian menahan
kantuk?
Yang
jelas, aku hanya berpasrah diri atas hasil tes yang kujalani dengan mumet di
kepala.
*
Kami
berempat lolos seleksi berkas! Alhamdulillah!
Di
pengumuman itu tertulis bahwa kami akan melaksanakan tes tulis di sebuah
sekolah di Sidoarjo. Aku mendelik melihat kartu peserta yang terpampang di web
pendaftaran itu. Selain data diri, kartu peserta itu juga memuat jadwal tes
sekaligus materi apa saja yang akan diujikan. Materi itu bukan main banyaknya.
Tes Potensi Belajar? Kalau aku tidak salah, mungkin maksudnya adalah tes IQ.
Selain itu masih ada ujian matematika, bahasa Inggris, fisika, biologi, bahasa
Arab, dan PAI. Tes ini dilaksanakan selama satu hari penuh dari pagi hingga jam
lima sore.
IC
memang tanpa ampun! Ini luar biasa! Aku merasa semakin ditantang.
Inilah
yang paling mendebarkan. Ini baru saja dimulai.
*
Sudah
kuceritakan sebelumnya tentang tes masuk yang kujalani dengan kepala pening
itu?
Ternyata
aku lolos, Kawan.
Ketika
aku melihat pengumumannya, aku membuka mataku lebar-lebar. Daftar nama-nama
siswa yang diterima diurutkan berdasarkan hasil tes masuk.
Dan perempuan
yang mengerjakan soal sambil menahan kantuk ini menempatkan namanya di
peringkat tiga. Aku shock.
Sesuai
tradisi, nama-nama anak sekolahku juga berderet di sana. Aku hanya bisa
tertawa, toh tujuan utamaku tetap menuju IC. Perkara aku akan mengikuti daftar
ulang di sekolah ini, itu nanti.
*
Rasanya
setelah Ujian Nasional selesai, aku makin frustasi jika disuruh belajar.
Kerjaanku
jika datang ke sekolah hanya main. Utek-utek laptop. Foto-foto dan membuat
video gila dengan teman sekelasku. Menghabiskan uang untuk jajan atau
jalan-jalan. Atau mendengarkan provokator yang masih open regist. Kebanyakan dari sekolah swasta.
Suatu
hari, salah seorang dari kami berempat─aku lupa siapa─mengusulkan untuk belajar
bersama di perpustakaan. Aku malas sekali, tapi niat baik tidak boleh ditolak.
Walau sedikit aku juga harus berikhtiar. Kalau aku terlalu leha-leha bisa-bisa
IC tidak mau menerimaku. Berbekal LKS IPA dan bahasa Arab yang sudah usang, aku
melangkah menuju perpustakaan dengan Gadis Mancung.
Diantara
meja kayu yang bersekat di bagian atasnya, aku duduk berhadapan dengan Pemuda
Organisasi, berdampingan dengan Gadis Mancung, dan berserongan dengan Idaman
Guru. Kami membolak-balik buku yang kami bawa, bertanya hal-hal yang tidak kami
mengerti, walau sebenarnya itu hanyalah bentuk formalitas agar kegiatan itu
terkesan serius dan kelihatan seperti benar-benar belajar. Sisanya kami
habiskan dengan mengobrol dan berkeluh kesah.
“Soalnya
ntar kayak gimana, ya ... Nggak kebayang.” Idaman Guru bertopang dagu.
“Aaaaah,
aku pusing. Banyak banget materi yang musti dipelajari.” Aku mengomel dan
menyandarkan kepalaku di meja sehingga ketiga temanku tidak bisa melihatku.
“Hihihi,
udah. Ayo semangat, dong.” Cara Gadis Mancung menyemangatiku bahkan tidak mampu
membangkitkan semangatku.
Pemuda
Organisasi melirik jam tangannya. “Ah! Aku diajak makan-makan sama temen
kelasku di kantin. Sori, ya, aku pergi duluan.” Pemuda Organisasi memasukkan
barang-barangnya ke tas sementara kami sibuk mencibirnya
kita-juga-mau-lho-ditraktir. Tangan kami melambai lelah seiring kepergiannya.
Kegiatan
belajar bersama itu hanya terjadi satu kali dan hanya berlangsung tidak lebih
dari lima belas menit.
*
Hari pelaksanaan tes tulis.
Rasanya
aku hampir gila.
Aku tiba
di Surabaya tiga hari sebelum tes. Aku tidak membawa buku pelajaran macam-macam
karena aku sudah malas belajar. Di tasku hanya ada dua buku: sebuah novel dan
buku psikotes. Aku menginap di rumah nenekku bersama dengan Pemuda Organisasi.
Saat
Pemuda Organisasi tengah sibuk belajar di depan televisi─dia bilang dia butuh
suasana ramai untuk belajar─aku asyik menonton Paranormal Activity 4 dari laptopku di ruang tamu. Tamat menonton
film horor bergaya dokumentasi itu, aku melanjutkan menonton film Posession yang tak kalah horornya. Aku
menonton dua film horor itu seorang diri! Betapa ngerinya. Dan setiap selesai
menonton film horor, aku akan mengalami masa traumatis, di mana aku menjelma
menjadi tokoh utama film dan merasa seolah hantu dalam film itu telah keluar
dari layar dan menguntitku.
Di malam
hari sebelum tes, aku dan Pemuda Organisasi tidak bisa menahan godaan untuk
membeli produk-produk jajanan yang baru dan terlalu sering diiklankan di
televisi. Kami sudah kepalang ngiler. Dengan meminjam motor matic tanteku, kami menuju supermarket
untuk membeli makanan, minuman, dan es krim. Kami memakannya di sebuah taman di
perumahan besar yang terletak tak jauh dari rumah nenekku. Ah, betapa
kenyangnya.
Dan
malam itu aku hanya belajar buku psikotes sesaat sebelum tidur.
Sekarang
aku dan Pemuda Organisasi dalam perjalanan ke lokasi tes. Kami dibonceng kakek
dan pamanku.
Aku
ngeri melihat kerumunan siswa yang terlihat intelek itu. Mereka membuka buku
macam-macam. Ada yang komat-kamit mengulang hafalan. Ada yang komat-kamit
berdoa. Mulutku terkatup.
Setelah
bertemu dengan Gadis Mancung dan Idaman Guru, kami berempat meninjau lokasi tes
sebelum tes dimulai. Kami mencari ruang tes kami masing-masing. Ruangan itu
diurutkan berdasarkan abjad. Ruanganku berdekatan dengan Idaman Guru, namun
berjauhan dengan Pemuda Organisasi dan Gadis Mancung. Kami berdoa bersama
sebelum akhirnya berpisah dan membuat kesepakatan untuk bertemu di musholla
sekolah itu.
Aku
memasuki ruang kelasku dan duduk di kursiku. Nomor dua dari belakang. Aku
mengamati sekitarku. Orang-orang ambisius dan intelek mengitariku. Aku
benar-benar grogi. Kukeluarkan seluruh peralatan perang yang kubutuhkan, tak
boleh ada yang lewat.
Oke,
tenang. Semua peralatanku lengkap, tidak ada yang kurang.
“Mbak, bisa
pinjem orotan?”
Seorang
gadis berkerudung putih menoleh padaku dengan tampang cemas abis. Aku buru-buru
menyerahkan rautan pensil yang ia minta. Aku akan berdosa jika tidak
meminjaminya dan malah berkata, “Salah sendiri nggak bawa!”. Dosa sekecil apapun
bisa menyulitkanku mengerjakan soal nanti.
Begitu
gadis itu mengembalikan rautanku, seorang wanita paruh baya berkacamata masuk
ke ruanganku dengan membawa map-map berwarna cokelat yang tebal. Tes akan
segera dimulai. Wanita itu membagikan lembar jawaban yang harus diisi dengan
pensil. Oke, hanya mengisi data diri, bukan masalah besar.
Begitu
soal Tes Potensi Belajar kuterima, aku mengusapnya pelan sambil membaca doa.
Kuambil pensilku dan mulai kubaca soal itu.
*
“Soalnya
susah sekali, ya.”
Aku agak
terkejut mendengar keluhan Pemuda Organisasi. “Iyo ta?”
Kami
sedang menunggu di depan ruang tes Idaman Guru. Jam menunjukkan pukul sembilan,
belum waktunya menuju musholla. Gadis Mancung yang letak ruangannya paling jauh
ditunggu oleh keluarganya.
“Mana
nggak kuisi semua lagi.” Pemuda Organisasi mendesah.
“Lah!
Kok nggak diisi semua?” Masa iya dia merasa susah lantas memutuskan untuk tidak
mengisinya?
“Bukan
itu, maksudku ... ada yang kukosongin. Ada kali 15 nomor. Habis, nggak tau mau
jawab apa.”
“Harusnya
isi aja semuanya. Kayaknya nggak ada nilai minus kok kalau buat tes potensi
belajar.” Aku mulai sotoy. Tapi
menurutku begitu. Pemuda Organisasi bilang soalnya susah, sedangkan aku merasa
soalnya mudah─cenderung menyenangkan. Aku mengerjakannya dengan sangat fokus
saking senangnya. Bahkan aku tidak mengantuk sama sekali. Dan semua soal juga
kuisi. Beberapa memang ngawur, sih. Yah, itu salah satu keuntungan soal pilihan
ganda, kan?
Tapi,
tunggu dulu. Kenapa aku merasa mudah dan Pemuda Organisasi merasa susah, ya?
Apa aku yang salah? Apa aku kurang berpikir? Ah, masa, sih.
Tiba-tiba
aku jadi parno.
“Hei,
gimana kalian?” Idaman Guru akhirnya keluar.
“Susah
banget, ya, soalnya?” tanya Pemuda Organisasi mencari dukungan.
“Iya,
lumayan.” Idaman Guru sepertinya mengalami kurang lebih hal yang sama dengan
Pemuda Organisasi.
Air yang
kuminum tersendat di tenggorokanku. Mampuslah aku.
Jangan-jangan
aku yang anomali?
*
Kami
berempat sedang berkumpul di musholla sekolah. Setelah berhasil melalui tes matematika,
bahasa Inggris, dan berlarian di hujan yang mengguyur jalan kami menuju
musholla, kami akhirnya tiba di tempat ini. Musholla ini terletak di lantai dua
dan tidak bersambungan dengan gedung lainnya. Sehingga kami musti menggunakan
tangga kayu khusus, jalan satu-satunya menuju musholla. Tangga kayu itu jadi
lintasan yang sulit karena terasa licin saat bergesekan dengan sepatu kami.
Berpegangan pada pagarnya pun terasa sia-sia karena pagarnya basah. Kami
mengendap-endap di tangga itu seperti pencuri.
“Ada
yang bawa nasi?” tanyaku sebelum mereka bertiga membahas soal. Aku lapar dan
mendengar mereka membahas soal bisa membuatku mati kelaparan.
Pemuda
Organisasi yang berangkat denganku jelas tidak bawa nasi. Idaman Guru dan Gadis
Mancung hanya menggeleng. Aku mengeluarkan biskuit lapis coklat yang kubeli
bersama Pemuda Organisasi kemarin malam. Aku menawarkannya pada mereka, karena
sepertinya sulit jika harus mencari nasi di hari yang hujan begini.
“Tesnya
susah banget, yaaa.” Pemuda Organisasi mengeluh lagi. Dia satu-satunya
laki-laki diantara kami berempat dan hari ini dia yang paling banyak mengeluh.
Idaman Guru manggut-manggut. Gadis Mancung hanya bisa tertawa. Aku melahap
biskuitku dengan ganas.
Aku merasakan
hal yang sama dengan Pemuda Organisasi. Soal pelajaran ini lebih memusingkan
ketimbang tes IQ. Aku tidak mengerti apa-apa saat mengerjakan soal bahasa
Inggris tadi. Teksnya penuh kosakata baru bagiku, membuatku bertanya-tanya dan
akhirnya menerjemahkannya dengan kamusku sendiri. Lebih-lebih matematika,
diantara 30 soal yang disodorkan, 10 diantaranya kukerjakan sambil berpikir,
sisanya hanya memburamkan bulatan di lembar jawaban tanpa ambil pusing. Agar
lembar jawabanku terlihat penuh dan membuatku percaya diri. Aku tidak yakin
soal-soal yang kukerjakan sambil berpikir itu akan benar semua.
“Udah,
sekarang tawakkal aja. Berdoa.” Kataku sesantai mungkin.
“Iya. Yuk,
kita sholat dhuhur.” Ajak Idaman Guru. Benar-benar murid yang sholehah.
Aku
hanya bisa memandang mereka bertiga sholat dengan khusyuk. Pemuda Organisasi
berdiri di depan sebagai imam, memimpin dua gadis di belakangnya. Aku hanya
bisa duduk di belakang mereka, bukan karena kakiku sakit atau apa. Aku
benar-benar merasa durhaka. Mereka bertiga bisa memaksimalkan panjatan doa
kepada Allah, sedangkan aku tidak begitu. Aku merasa tersisihkan saat itu.
Jangan-jangan mereka bertiga yang akan berangkat ke sana.
Sekali
lagi, aku anomali.
*
Waktu
sholat ashar.
Hujan
telah menyingkir, tapi pijakan tanah di kaki kami masih terasa basah dan lunyu. Kami duduk melingkar di musholla.
Kali ini aku gagal mencegah mereka berkeluh kesah. Hampir semua soal fisika dan
biologi mereka review. Aku mendengar
celotehan mereka bagai sungai tak berujung, mengalir deras.
“Nomor
14 soal biologi, jawabannya A, kan?”
Aku
tercekik. “Jawabannya A?”
“Emang
kamu jawab apa?” tanya Gadis Mancung.
“D.”
Jawabku tanpa merasa bersalah. Aku sangat yakin dengan jawabanku di nomor 14
itu. Aku sempat menggunakan otakku.
“Tapi
aku jawabannya juga A, sih.” ucap Idaman Guru. Gadis Mancung juga ikut-ikutan
mengiyakan. Kami memastikan kebenarannya dengan melihat di LKS biologi yang
dibawa Pemuda Organisasi. Dan di sana terpampang sudah apa yang mereka
inginkan.
Ini
adalah soal kelima belas yang dibahas di forum ini, sekaligus soal kesembilan
yang salah untukku. Enam soal lainnya bukan berarti jawabanku benar. Status
keenam soal itu adalah dipertanyakan: aku lupa apa jawabanku.
Aku mati
kutu.
Aku yang
paling anomali di sini.
*
Aku sabar menunggu pengumuman dari sekolah yang penuh
tantangan itu.
“Anakku,
hari ini hari terakhir daftar ulang ke Malang I. Bagaimana?”
Aku
dengar Gadis Mancung akhirnya tetap melakukan daftar ulang ke sekolah yang
mencantumkan namaku di peringkat tiga itu, tanpa menunggu terlebih dahulu
pengumuman kelulusan dari IC.
“Nanti
saja, Bu.”
“Nanti
kapan?”
Eh,
iyaya. Aku nyengir, kemudian mempertimbangkan ke sana ke mari.
Aku
sangat ingin masuk IC. Sekolah Habibie itu terus-terusan menantangku! Ia
terlihat sangat congkak dan berkelas, membuatku ingin menaklukannya. Aku didera
rasa penasaran yang amat sangat terhadapnya. Persaingan ketat, beasiswa penuh,
letaknya yang jauh dari rumah. Sayang uang daftar ulang ke Malang I yang
kubayarkan jika ternyata aku diterima di sekolah ini.
Melanjutkan
sekolah di Malang I kurang menantang buatku. Guru-gurunya adalah sobat
ayahku─ayahku dulunya seorang guru di sana, sebelum diangkat menjadi pengawas
di Kementerian Agama. Alumni sekolahku juga menggandrungi sekolah itu, seolah
bukan hal asing lagi. Mungkin kehidupan di sana akan mudah, namun aku bisa
bosan.
Jika aku
tidak mendaftar ulang di Malang I dan ternyata IC pun tidak sudi menerimaku,
maka pilihanku hanya tinggal satu: bersekolah di Aliyah Singosari, mondok di
NH, dan diajar langsung oleh ayahku.
Mengerikan.
Dengan
segala argumen itu, aku menjawab pertanyaan ibuku dengan mantap, “Tidak perlu,
Bu.”
*
Nenekku
terus menanyaiku setiap hari, tanpa berhenti.
“IC iku sekolah sing yoopo se, Nduk?”
tanyanya saat kami sedang duduk santai di teras depan rumahnya. Kursi plastik
putih yang sudah ada sejak aku bayi itu melengkung senderannya setiap kali
disanggah dengan punggung. Angin panas Sidoarjo berhembus enggan tanpa
memberikan kenyamanan. Aku memandang mobil ayahku yang diparkir di depan rumah,
terlihat tua karena ditiup debu seharian. Pemandangan yang gersang.
Pertanyaan
ini membuat otakku ikut-ikutan gersang.
“Sekolahnya
gratis, Mik.” Jawabku pada nenek yang kupanggil Amik.
“Lho, maksudku aku iki duduhana, rupane yoopo
sekolahe iku. Ono opo ndek kono.” Amik mendesakku.
Pertanyaan
ini tidak akan mampu kujawab sebelum aku benar-benar resmi menjadi murid di
sana.
Masalahnya,
aku tidak pernah mencari tahu seperti apa rupanya IC itu. Satu-satunya info
yang kucari tentang IC adalah pendaftaran. Selebihnya, tidak ada. Luaskah IC,
seperti apa gedung sekolahnya, apakah rindang atau sejuk, bagaimana wujud
seragam yang digunakan siswanya, aku benar-benar tidak tahu.
Alasannya,
aku terlalu takut mencari tahu. Aku orang yang mudah berimajinasi. Jika aku
mengetahui seragam IC, aku akan membayangkan diriku yang terbalut dalam seragam
orang pintar itu. Bahkan mungkin saja aku tidak hanya menggambarnya di benakku,
kugambarkan itu semua dalam kertas di buku harianku. Aku membayangkan diriku
duduk di kelas dan memperhatikan guru yang sedang mengajar. Lalu saat
pengumuman menyatakan aku tidak lolos, kandaslah semua bayangan itu. Hancurlah
hatiku dan aku bisa galau sepanjang hari. Resikonya terlalu besar.
Sore
yang panas, di Sidoarjo kala itu, kudiamkan Amik. Maafkan cucumu, Mik.
*
19 Juni 2013. Hari pengumuman.
Aku
telah berkali-kali membuka website
pendaftaran, tempat di mana seharusnya pengumuman diumumkan. Namun hasilnya
tetap sama saja. Server eror. Mungkin server mendadak down karena disambangi terlalu banyak pengunjung. Salahkan dirimu,
Server, kenapa kau buat kami penasaran begini.
Antara
kesal dan putus asa, seharian itu aku habiskan berbaring di kasur. Kukirim
pesan pada teman-temanku─Pemuda Organisasi, Idaman Guru, dan Gadis Mancung. Aku
meminta mereka untuk memberitahuku seandainya server pelit itu sudah agak murah
hati.
AAH! AKU
KETIDURAN!!
Handphoneku terus gemetar. Kasihan.
Pasti ketiga temanku yang sama paniknya denganku itu sudah meneror handphoneku habis-habisan.
From: Pemuda Organisasi
Hei, pengumumannya udah ada
Aku nggak lolosL
Kamu gimana?
APAAA???????????????
Aku tidak
bisa santai sekarang. Aku super nerveous.
Maksudku, kalian pasti tidak mengenal Pemuda Organisasi. Saat wisuda kemarin,
Pemuda Organisasi dinobatkan sebagai Bintang Pelajar di angkatanku lantaran
prestasinya yang bejibun memenuhi pajangan piala di almari sekolah, dedikasinya
yang besar untuk organisasi sekolah, dan rankingnya yang selalu di angka satu,
dua, atau tiga. Dia juga mendapat nilai NEM tertinggi di sekolah.
Alamak,
kalau dia saja tidak lolos, bagaimana nasibku?
To: Pemuda Organisasi
Gadis Mancung sama Idaman Guru gimana?
From: Pemuda Organisasi
Idaman Guru juga nggak lolos... kalau Gadis Mancung aku
nggak tau. Kamu belum ngecek?
To: Pemuda Organisasi
Itu.. aku ketiduran hehehehe
Aku
sudah bisa menduga bahwa Idaman Guru mungkin saja tidak lolos. Bukan karena
kemampuannya, dan kalau soal itu tentu saja aku tidak bisa sembarang
meremehkannya. Perkaranya adalah Nyai, pengurus di pondok pesantren tempat kami
tinggal. Saat kami mohon doa restu kepada beliau untuk mengikuti tes ini, pesan
yang beliau sampaikan pada kami berdua berbeda.
“Jauh
sekali mau sekolah di Jakarta. Kalau begitu, hati-hati, ya.” Ujar beliau saat
aku berpamitan.
Sedangkan
pesan yang diterima Idaman Guru, “Ngapain, sih, sekolah jauh-jauh? Sekolah di
Gondanglegi saja sambil melanjutkan mondok.” Jelas-jelas pesan itu memiliki makna
terselubung untuk mencegah Idaman Guru pergi meninggalkan pondok kami. Idaman
Guru seorang santri teladan yang patuh. Setiap guru tidak ingin melepas murid
seperti Idaman Guru. Aku mengerti mengapa Nyai menahannya.
Walau
diam-diam aku juga cemburu.
Ah, dua
temanku yang begitu super tidak diterima. Aku jadi makin nervous. Rasanya aku tidak perlu membukanya.
Namun,
otak baru bangun tidurku itu bertindak spontan tanpa bisa kularang. “IBU, AYO
KITA CEK SEKALI LAGI PENGUMUMANNYA! DUA TEMANKU TIDAK LOLOS!” teriakku lantang.
Ibuku yang sedang menggenggam ulekan spontan melemparkannya hingga menatap tembok
dapur yang malang. Ayahku tergesa-gesa menyerahkan laptop yang sedang ia
gunakan untuk bekerja.
Tapi
kami semua lupa: TIDAK ADA MODEM ATAUPUN WIFI.
“Aaah!”
seruku semrawut. “Modem? WiFi? Bagaimana caranya akses internet?”
“Kemari,
biar Mas bantu pakai handphone Mas.”
Kakakku datang dengan santai dan menunjukkan handphone di telapak tangannya.
“Bagaimana
caranya?”
“Adalah.
HP canggih.”
Ah, ya.
Sebenarnya aku kesal dengan sikap sengaknya. Tapi itu bukan perkara penting
sekarang. Setidaknya dia mau membantuku.
Dengan
sigap, kakakku melakukan aksi yang setelah beberapa bulan kuketahui sebagai tethering. Laptop merah milik ayahku
terhubung sudah dengan internet. Cepat-cepat aku membuka web pendaftaran.
Pelan-pelan
aku memasukkan data loginku. Muncul
halaman beranda. Oke, masih beranda.
Aku dan
ibuku menatap laptop tanpa berkedip dari jarak 50 cm. Kakakku mengawasi di
balik punggung kami. Ayahku berwudhu, berniat menuju ke langgar karena adzan
maghrib akan segera berkumandang.
Pointerku takut-takut mendekati tulisan
“Halaman Seleksi” yang tampak kokoh bertengger diantara tulisan lain. Bedanya,
hari ini dia terlihat sangat angkuh. Jempolku yang basah menekan mouse yang sejak tadi kugenggam.
Dan
terjadilah.
Selamat!
Anda─
“Alhamdulillah!
Alhamdulillah!” ibuku telah berseru kencang dan memeluk tubuhku yang masih
terpaku. Dekapannya begitu erat. Apa yang terjadi?
Sembari
mengintip dari balik lengan ibu yang melingkari kepalaku, aku membaca tulisan
itu baik-baik.
Selamat!
Anda dengan nomor tes 134222xxx LULUS
sebagai calon siswa di MAN Insan Cendekia Serpong.
OH,
TERNYATA ....
Aku
balas memeluk ibuku tak kalah erat dan berteriak lebih heboh. Ibuku sudah
menitikkan air mata. Kakakku mengucap hamdalah dan mengelus dada, lantas
menghembuskan nafas panjang melihat tingkah ibu dan adiknya. Ayahku yang datang
bertanya-tanya dan ikut legowo setelah kakakku menjelaskan.
Tetangga
yang berjalan menuju langgar menyempatkan diri untuk berhenti sejenak di depan
rumah kami. Heran apa yang sedang terjadi di rumah itu karena mendengar
teriakan wanita yang begitu histeris.
Ibuku
benar-benar merasa lega, karena sebelumnya beliau khawatir tak karuan, cemas
antara aku lolos atau tidak. Aku tidak punya cadangan sekolah lagi. Aku terlalu
percaya diri menolak sekolah di Malang I dan pilihan terakhirku hanya Aliyah
Singosari. Hari ini adalah hari terakhir pendaftaran Aliyah Singosari. Saking
parnonya, ibuku sudah membeli formulir pendaftaran yang harganya sekitar lima
puluh ribu rupiah, berjaga-jaga seandainya aku tidak diterima di IC. Namun
sekarang, biaya yang telah beliau keluarkan untuk formulir itu seolah lunas terbayarkan
dengan pengumuman yang telah membuat kami kepalang girang.
Insan
Cendekia.
Aku akan
menghadapimu.
aaaaaaaaaaaaaa greget banget bacanya kak!! aku tanggal 18 maret 2017 bakalan ikut tes tertulis man insan cendekia di bengkulu. agak takut karena belum tau bentukan soalnya dll hmm smg aku juga kuat kaya kaka hihii
ReplyDeleteWah alhamdulillah bakalan punya adik kelas baru nih :) bismillah semangat ya dek! Jangan lupa belajar heheh karena keberuntungan adalah nama lain dari kerjas keras :) kudukung penuh!!
Delete