Sunday, July 31, 2016

Diari Anak IC Tahun Pertama | Bab 1 | Sekolah Lanjutan


Mari kita mulai dari sini. Saat aku kelas 3 SMP. Kelas sembilan.
          Aku hanya ingin menyampaikan berita buruk bahwa, pada waktu itu, pemerintah mengeluarkan maklumat untuk memberhentikan kelas berstatus RMBI atau RSBI di seluruh Indonesia.
            Aku bersekolah di madrasah tsanawiyah. Sebuah madrasah yang terletak di bagian selatan kabupaten dan dikelilingi oleh sawah yang hijau. Tempat di mana angkutan umum hanya berseliweran dari pagi hingga petang. Sebuah madrasah yang begitu asri dan sejuk.
            Dan aku berhasil masuk kelas RMBI. Sebuah kelas berstandar Internasional dengan fasilitas yang lebih komplet ketimbang kelas lain. WiFi, kursi lipat ala anak kuliahan (yang awalnya terlihat elit, namun akhirnya terkesan sempit karena hanya mampu menampung barang sedikit), izin khusus untuk menggunakan laptop dalam pembelajaran, proyektor, dan karpet. Fasilitas mewah di sekolah yang mepet sawah.
            Aku bersama kedua puluh empat orang temanku, adalah murid-murid RMBI angkatan pertama di madrasahku.
            Dan tahu-tahu pemerintah mengeluarkan maklumat itu. Bahkan saat kami belum tuntas menyelesaikan 3 tahun sekolah dan menyandang gelar elit ‘lulusan RMBI’. Bahkan saat status kelas kami masih rintisan.
            Tidak apa-apa, ya? Aku hanya curhat.
*
            Sejak kelas delapan, orang-orang di sekelilingku sudah ribut soal ‘sekolah lanjutan’. Senior high school.
            Aku sendiri tidak ribet memikirkannya, toh masih kelas delapan. Orang-orang ini memang visioner sekali.
            Dan saat kelas sembilan tiba, banyak orang mulai menghasutku.
            Banyak sekolah yang direkomendasikan kepadaku. MAN Gondanglegi (yang berarti akan menambah sejarah hidupku di Gondanglegi), MAN 3 Malang (sebenarnya aku tertarik mendaftar ke sana, namun aku tidak tahu kenapa aku tidak kunjung mendaftar hingga pendaftarannya ditutup), MAN Malang I (banyak kolega ayahku, dan sebagian besar alumni sekolahku memang meneruskan sekolah ke sana), MA Almaarif Singosari (kolega ayahku makin banyak saja, ayahku seorang pengajar di sini. Sekolahnya memang dekat dengan rumah, namun ayah dan ibuku menyuruhku mondok di NH untuk menghafal Al-Qur’an. Dua kombinasi yang membuatku agak ngeri), dan MA Amanatul Ummah (aku menyukai lingkungannya yang begitu asri dan tenang, namun itu juga membuatku tidak ingin melanjutkan sekolah ke sana karena tempatnya yang terlalu pelosok. Tidak ada transportasi. Aku bisa gila kalau tidak punya akses untuk melarikan diri). Semua saran itu seolah masuk telinga kanan keluar telinga kiri.
            Para provokator juga singgah di sekolahku. Membujuk murid kelas sembilan agar tertarik masuk ke sekolah yang mereka promosikan. Aku senang mereka datang. Mereka membawa suvenir gratis yang sangat bermanfaat. Brosur untuk kipas setelah dibaca baik-baik, bulpen berlogo cuma-cuma, dan notes kecil tempatku berkreasi.
            Bukannya aku tidak menetapkan tujuan sama sekali. Saat itu aku ingat aku ingin masuk Grafika. Tapi orang tuaku tidak menganjurkannya karena mereka ingin aku bersekolah di SMA─bukannya SMK. Mereka ingin anak keduanya ini masuk universitas dan jadi dokter.
            Akhirnya, salah satu hasutan nampaknya tersendat ke otakku.
            “Kamu mau masuk IC?” tanya guru BK-ku, saat istirahat sekolah.
            Apa itu nama sekolah? Terdengar asing. “IC apa Bu?”
            “Insan Cendekia. Sekolah yang didirikan sama Pak Habibie. Sekolahnya jauh di Jakarta sana. Tapi beasiswa penuh.”
            Mataku berbinar-binar mendengar kata ‘beasiswa penuh’.
            “Peminatnya sangat banyak. Persaingannya ketat.”
            Sudah kuduga.
            “Alumni sini ada yang sekolah di sana, Bu?” aku berharap jika memang ada, maka aku bisa banyak mencuri informasi darinya. Tentang persiapan tesnya hingga kegiatan belajarnya.
            Guruku menggeleng. O-ow.
            “Dulu pernah ada kakak kelasmu yang sudah mendaftar ke sana. Sudah lolos seleksi berkas, tapi gagal saat tes tulis.”
            Aku jadi penasaran. “Kakak kelas saya? Siapa, Bu?”
            “Cantik Multitalenta, yang sering menjuarai banyak perlombaan itu.”
            Aku tercekik.
            Weleh, Mbak Cantik Multitalenta ae ora iso lolos! Cek susahe. Sekolah macem opo IC iki?
            Dan sama seperti judul novel kedua dari trilogi The Hunger Games, aku tersulut. Catching fire.
*
            Setelah kupikir-pikir, membayangkan bersekolah di Jakarta seorang diri tanpa teman maupun kakak kelas rasanya agak horor.
            Jadilah aku mengajak beberapa temanku. Kumulai dari teman sekelasku. Beberapa tampak enggan, mengingat lokasi IC yang begitu jauhnya. Tak masalah. Hidup adalah pilihan. Jika mereka tidak siap, aku bisa beralih.
            Karena mengingat persaingan IC yang begitu sulitnya, aku mendekati teman-temanku yang berotak superior. Siswa peringkat satu dari kelas yang berbeda.
            Singkatnya, aku berhasil menggaet Pemuda Organisasi dari kelas B dan Idaman Guru dari kelas D. Aku sendiri berasal dari kelas C. Salah seorang teman sekelasku berubah pikiran. Akhirnya kami mantap berempat dengan teman sekelasku Gadis Mancung.
            Kami mengurus berkas-berkas yang diperlukan. Guru BK ikut membantu. Ranking paralel. Sertifikat lomba. Sertifikat pondok. Surat keterangan berkelakuan baik. Semua berkas beres dan kami mengunggahnya di web pendaftaran. Tinggal menunggu pengumuman.
*
            Sambil menunggu kepastian dari IC, aku juga mendaftar di sekolah lain.
            Aku beramai-ramai berangkat ke lokasi tes dengan teman-temanku. Bejibun. Kabarnya, sekolah yang kutuju ini memang hobi disantroni alumni sekolahku. Sama artinya dengan ‘pindah sekolah’.
            Saat itu aku mengikuti tes gelombang satu. Tes diadakan di siang hari. Aku sudah tidur di kendaraan tadi agar tidak mengantuk. Ujian di siang hari sangat rawan bagiku, karena aku punya kebiasaan mengantuk tak tertahankan di jam-jam itu.
            Nyatanya, aku tetap mengerjakan soal dengan kepala pening. Entah apa yang membuat kepalaku pening. Apa karena aku kurang minum? Atau karena hanya makan siang dengan roti yang disediakan panitia? Atau karena aku mati-matian menahan kantuk?
            Yang jelas, aku hanya berpasrah diri atas hasil tes yang kujalani dengan mumet di kepala.
*
            Kami berempat lolos seleksi berkas! Alhamdulillah!
            Di pengumuman itu tertulis bahwa kami akan melaksanakan tes tulis di sebuah sekolah di Sidoarjo. Aku mendelik melihat kartu peserta yang terpampang di web pendaftaran itu. Selain data diri, kartu peserta itu juga memuat jadwal tes sekaligus materi apa saja yang akan diujikan. Materi itu bukan main banyaknya. Tes Potensi Belajar? Kalau aku tidak salah, mungkin maksudnya adalah tes IQ. Selain itu masih ada ujian matematika, bahasa Inggris, fisika, biologi, bahasa Arab, dan PAI. Tes ini dilaksanakan selama satu hari penuh dari pagi hingga jam lima sore.
            IC memang tanpa ampun! Ini luar biasa! Aku merasa semakin ditantang.
            Inilah yang paling mendebarkan. Ini baru saja dimulai.
*
            Sudah kuceritakan sebelumnya tentang tes masuk yang kujalani dengan kepala pening itu?
            Ternyata aku lolos, Kawan.
            Ketika aku melihat pengumumannya, aku membuka mataku lebar-lebar. Daftar nama-nama siswa yang diterima diurutkan berdasarkan hasil tes masuk.
            Dan perempuan yang mengerjakan soal sambil menahan kantuk ini menempatkan namanya di peringkat tiga. Aku shock.
            Sesuai tradisi, nama-nama anak sekolahku juga berderet di sana. Aku hanya bisa tertawa, toh tujuan utamaku tetap menuju IC. Perkara aku akan mengikuti daftar ulang di sekolah ini, itu nanti.
*
            Rasanya setelah Ujian Nasional selesai, aku makin frustasi jika disuruh belajar.
            Kerjaanku jika datang ke sekolah hanya main. Utek-utek laptop. Foto-foto dan membuat video gila dengan teman sekelasku. Menghabiskan uang untuk jajan atau jalan-jalan. Atau mendengarkan provokator yang masih open regist. Kebanyakan dari sekolah swasta.
            Suatu hari, salah seorang dari kami berempat─aku lupa siapa─mengusulkan untuk belajar bersama di perpustakaan. Aku malas sekali, tapi niat baik tidak boleh ditolak. Walau sedikit aku juga harus berikhtiar. Kalau aku terlalu leha-leha bisa-bisa IC tidak mau menerimaku. Berbekal LKS IPA dan bahasa Arab yang sudah usang, aku melangkah menuju perpustakaan dengan Gadis Mancung.
            Diantara meja kayu yang bersekat di bagian atasnya, aku duduk berhadapan dengan Pemuda Organisasi, berdampingan dengan Gadis Mancung, dan berserongan dengan Idaman Guru. Kami membolak-balik buku yang kami bawa, bertanya hal-hal yang tidak kami mengerti, walau sebenarnya itu hanyalah bentuk formalitas agar kegiatan itu terkesan serius dan kelihatan seperti benar-benar belajar. Sisanya kami habiskan dengan mengobrol dan berkeluh kesah.
            “Soalnya ntar kayak gimana, ya ... Nggak kebayang.” Idaman Guru bertopang dagu.
            “Aaaaah, aku pusing. Banyak banget materi yang musti dipelajari.” Aku mengomel dan menyandarkan kepalaku di meja sehingga ketiga temanku tidak bisa melihatku.
            “Hihihi, udah. Ayo semangat, dong.” Cara Gadis Mancung menyemangatiku bahkan tidak mampu membangkitkan semangatku.
            Pemuda Organisasi melirik jam tangannya. “Ah! Aku diajak makan-makan sama temen kelasku di kantin. Sori, ya, aku pergi duluan.” Pemuda Organisasi memasukkan barang-barangnya ke tas sementara kami sibuk mencibirnya kita-juga-mau-lho-ditraktir. Tangan kami melambai lelah seiring kepergiannya.
            Kegiatan belajar bersama itu hanya terjadi satu kali dan hanya berlangsung tidak lebih dari lima belas menit.
*
Hari pelaksanaan tes tulis.
            Rasanya aku hampir gila.
            Aku tiba di Surabaya tiga hari sebelum tes. Aku tidak membawa buku pelajaran macam-macam karena aku sudah malas belajar. Di tasku hanya ada dua buku: sebuah novel dan buku psikotes. Aku menginap di rumah nenekku bersama dengan Pemuda Organisasi.
            Saat Pemuda Organisasi tengah sibuk belajar di depan televisi─dia bilang dia butuh suasana ramai untuk belajar─aku asyik menonton Paranormal Activity 4 dari laptopku di ruang tamu. Tamat menonton film horor bergaya dokumentasi itu, aku melanjutkan menonton film Posession yang tak kalah horornya. Aku menonton dua film horor itu seorang diri! Betapa ngerinya. Dan setiap selesai menonton film horor, aku akan mengalami masa traumatis, di mana aku menjelma menjadi tokoh utama film dan merasa seolah hantu dalam film itu telah keluar dari layar dan menguntitku.
            Di malam hari sebelum tes, aku dan Pemuda Organisasi tidak bisa menahan godaan untuk membeli produk-produk jajanan yang baru dan terlalu sering diiklankan di televisi. Kami sudah kepalang ngiler. Dengan meminjam motor matic tanteku, kami menuju supermarket untuk membeli makanan, minuman, dan es krim. Kami memakannya di sebuah taman di perumahan besar yang terletak tak jauh dari rumah nenekku. Ah, betapa kenyangnya.
            Dan malam itu aku hanya belajar buku psikotes sesaat sebelum tidur.
            Sekarang aku dan Pemuda Organisasi dalam perjalanan ke lokasi tes. Kami dibonceng kakek dan pamanku.
            Aku ngeri melihat kerumunan siswa yang terlihat intelek itu. Mereka membuka buku macam-macam. Ada yang komat-kamit mengulang hafalan. Ada yang komat-kamit berdoa. Mulutku terkatup.
            Setelah bertemu dengan Gadis Mancung dan Idaman Guru, kami berempat meninjau lokasi tes sebelum tes dimulai. Kami mencari ruang tes kami masing-masing. Ruangan itu diurutkan berdasarkan abjad. Ruanganku berdekatan dengan Idaman Guru, namun berjauhan dengan Pemuda Organisasi dan Gadis Mancung. Kami berdoa bersama sebelum akhirnya berpisah dan membuat kesepakatan untuk bertemu di musholla sekolah itu.
            Aku memasuki ruang kelasku dan duduk di kursiku. Nomor dua dari belakang. Aku mengamati sekitarku. Orang-orang ambisius dan intelek mengitariku. Aku benar-benar grogi. Kukeluarkan seluruh peralatan perang yang kubutuhkan, tak boleh ada yang lewat.
            Oke, tenang. Semua peralatanku lengkap, tidak ada yang kurang.
            “Mbak, bisa pinjem orotan?”
            Seorang gadis berkerudung putih menoleh padaku dengan tampang cemas abis. Aku buru-buru menyerahkan rautan pensil yang ia minta. Aku akan berdosa jika tidak meminjaminya dan malah berkata, “Salah sendiri nggak bawa!”. Dosa sekecil apapun bisa menyulitkanku mengerjakan soal nanti.
            Begitu gadis itu mengembalikan rautanku, seorang wanita paruh baya berkacamata masuk ke ruanganku dengan membawa map-map berwarna cokelat yang tebal. Tes akan segera dimulai. Wanita itu membagikan lembar jawaban yang harus diisi dengan pensil. Oke, hanya mengisi data diri, bukan masalah besar.
            Begitu soal Tes Potensi Belajar kuterima, aku mengusapnya pelan sambil membaca doa. Kuambil pensilku dan mulai kubaca soal itu.
*
            “Soalnya susah sekali, ya.”
            Aku agak terkejut mendengar keluhan Pemuda Organisasi. “Iyo ta?”
            Kami sedang menunggu di depan ruang tes Idaman Guru. Jam menunjukkan pukul sembilan, belum waktunya menuju musholla. Gadis Mancung yang letak ruangannya paling jauh ditunggu oleh keluarganya.
            “Mana nggak kuisi semua lagi.” Pemuda Organisasi mendesah.
            “Lah! Kok nggak diisi semua?” Masa iya dia merasa susah lantas memutuskan untuk tidak mengisinya?
            “Bukan itu, maksudku ... ada yang kukosongin. Ada kali 15 nomor. Habis, nggak tau mau jawab apa.”
            “Harusnya isi aja semuanya. Kayaknya nggak ada nilai minus kok kalau buat tes potensi belajar.” Aku mulai sotoy. Tapi menurutku begitu. Pemuda Organisasi bilang soalnya susah, sedangkan aku merasa soalnya mudah─cenderung menyenangkan. Aku mengerjakannya dengan sangat fokus saking senangnya. Bahkan aku tidak mengantuk sama sekali. Dan semua soal juga kuisi. Beberapa memang ngawur, sih. Yah, itu salah satu keuntungan soal pilihan ganda, kan?
            Tapi, tunggu dulu. Kenapa aku merasa mudah dan Pemuda Organisasi merasa susah, ya? Apa aku yang salah? Apa aku kurang berpikir? Ah, masa, sih.
            Tiba-tiba aku jadi parno.
            “Hei, gimana kalian?” Idaman Guru akhirnya keluar.
            “Susah banget, ya, soalnya?” tanya Pemuda Organisasi mencari dukungan.
            “Iya, lumayan.” Idaman Guru sepertinya mengalami kurang lebih hal yang sama dengan Pemuda Organisasi.
            Air yang kuminum tersendat di tenggorokanku. Mampuslah aku.
            Jangan-jangan aku yang anomali?
*
            Kami berempat sedang berkumpul di musholla sekolah. Setelah berhasil melalui tes matematika, bahasa Inggris, dan berlarian di hujan yang mengguyur jalan kami menuju musholla, kami akhirnya tiba di tempat ini. Musholla ini terletak di lantai dua dan tidak bersambungan dengan gedung lainnya. Sehingga kami musti menggunakan tangga kayu khusus, jalan satu-satunya menuju musholla. Tangga kayu itu jadi lintasan yang sulit karena terasa licin saat bergesekan dengan sepatu kami. Berpegangan pada pagarnya pun terasa sia-sia karena pagarnya basah. Kami mengendap-endap di tangga itu seperti pencuri.
            “Ada yang bawa nasi?” tanyaku sebelum mereka bertiga membahas soal. Aku lapar dan mendengar mereka membahas soal bisa membuatku mati kelaparan.
            Pemuda Organisasi yang berangkat denganku jelas tidak bawa nasi. Idaman Guru dan Gadis Mancung hanya menggeleng. Aku mengeluarkan biskuit lapis coklat yang kubeli bersama Pemuda Organisasi kemarin malam. Aku menawarkannya pada mereka, karena sepertinya sulit jika harus mencari nasi di hari yang hujan begini.
            “Tesnya susah banget, yaaa.” Pemuda Organisasi mengeluh lagi. Dia satu-satunya laki-laki diantara kami berempat dan hari ini dia yang paling banyak mengeluh. Idaman Guru manggut-manggut. Gadis Mancung hanya bisa tertawa. Aku melahap biskuitku dengan ganas.
            Aku merasakan hal yang sama dengan Pemuda Organisasi. Soal pelajaran ini lebih memusingkan ketimbang tes IQ. Aku tidak mengerti apa-apa saat mengerjakan soal bahasa Inggris tadi. Teksnya penuh kosakata baru bagiku, membuatku bertanya-tanya dan akhirnya menerjemahkannya dengan kamusku sendiri. Lebih-lebih matematika, diantara 30 soal yang disodorkan, 10 diantaranya kukerjakan sambil berpikir, sisanya hanya memburamkan bulatan di lembar jawaban tanpa ambil pusing. Agar lembar jawabanku terlihat penuh dan membuatku percaya diri. Aku tidak yakin soal-soal yang kukerjakan sambil berpikir itu akan benar semua.
            “Udah, sekarang tawakkal aja. Berdoa.” Kataku sesantai mungkin.
            “Iya. Yuk, kita sholat dhuhur.” Ajak Idaman Guru. Benar-benar murid yang sholehah.
            Aku hanya bisa memandang mereka bertiga sholat dengan khusyuk. Pemuda Organisasi berdiri di depan sebagai imam, memimpin dua gadis di belakangnya. Aku hanya bisa duduk di belakang mereka, bukan karena kakiku sakit atau apa. Aku benar-benar merasa durhaka. Mereka bertiga bisa memaksimalkan panjatan doa kepada Allah, sedangkan aku tidak begitu. Aku merasa tersisihkan saat itu. Jangan-jangan mereka bertiga yang akan berangkat ke sana.
            Sekali lagi, aku anomali.
*
            Waktu sholat ashar.
            Hujan telah menyingkir, tapi pijakan tanah di kaki kami masih terasa basah dan lunyu. Kami duduk melingkar di musholla. Kali ini aku gagal mencegah mereka berkeluh kesah. Hampir semua soal fisika dan biologi mereka review. Aku mendengar celotehan mereka bagai sungai tak berujung, mengalir deras.
            “Nomor 14 soal biologi, jawabannya A, kan?”
            Aku tercekik. “Jawabannya A?”
            “Emang kamu jawab apa?” tanya Gadis Mancung.
            “D.” Jawabku tanpa merasa bersalah. Aku sangat yakin dengan jawabanku di nomor 14 itu. Aku sempat menggunakan otakku.
            “Tapi aku jawabannya juga A, sih.” ucap Idaman Guru. Gadis Mancung juga ikut-ikutan mengiyakan. Kami memastikan kebenarannya dengan melihat di LKS biologi yang dibawa Pemuda Organisasi. Dan di sana terpampang sudah apa yang mereka inginkan.
            Ini adalah soal kelima belas yang dibahas di forum ini, sekaligus soal kesembilan yang salah untukku. Enam soal lainnya bukan berarti jawabanku benar. Status keenam soal itu adalah dipertanyakan: aku lupa apa jawabanku.
            Aku mati kutu.
            Aku yang paling anomali di sini.
*
Aku sabar menunggu pengumuman dari sekolah yang penuh tantangan itu.
            “Anakku, hari ini hari terakhir daftar ulang ke Malang I. Bagaimana?”
            Aku dengar Gadis Mancung akhirnya tetap melakukan daftar ulang ke sekolah yang mencantumkan namaku di peringkat tiga itu, tanpa menunggu terlebih dahulu pengumuman kelulusan dari IC.
            “Nanti saja, Bu.”
            “Nanti kapan?”
            Eh, iyaya. Aku nyengir, kemudian mempertimbangkan ke sana ke mari.
            Aku sangat ingin masuk IC. Sekolah Habibie itu terus-terusan menantangku! Ia terlihat sangat congkak dan berkelas, membuatku ingin menaklukannya. Aku didera rasa penasaran yang amat sangat terhadapnya. Persaingan ketat, beasiswa penuh, letaknya yang jauh dari rumah. Sayang uang daftar ulang ke Malang I yang kubayarkan jika ternyata aku diterima di sekolah ini.
            Melanjutkan sekolah di Malang I kurang menantang buatku. Guru-gurunya adalah sobat ayahku─ayahku dulunya seorang guru di sana, sebelum diangkat menjadi pengawas di Kementerian Agama. Alumni sekolahku juga menggandrungi sekolah itu, seolah bukan hal asing lagi. Mungkin kehidupan di sana akan mudah, namun aku bisa bosan.
            Jika aku tidak mendaftar ulang di Malang I dan ternyata IC pun tidak sudi menerimaku, maka pilihanku hanya tinggal satu: bersekolah di Aliyah Singosari, mondok di NH, dan diajar langsung oleh ayahku.
            Mengerikan.
            Dengan segala argumen itu, aku menjawab pertanyaan ibuku dengan mantap, “Tidak perlu, Bu.”
*
            Nenekku terus menanyaiku setiap hari, tanpa berhenti.
            “IC iku sekolah sing yoopo se, Nduk?” tanyanya saat kami sedang duduk santai di teras depan rumahnya. Kursi plastik putih yang sudah ada sejak aku bayi itu melengkung senderannya setiap kali disanggah dengan punggung. Angin panas Sidoarjo berhembus enggan tanpa memberikan kenyamanan. Aku memandang mobil ayahku yang diparkir di depan rumah, terlihat tua karena ditiup debu seharian. Pemandangan yang gersang.
            Pertanyaan ini membuat otakku ikut-ikutan gersang.
            “Sekolahnya gratis, Mik.” Jawabku pada nenek yang kupanggil Amik.
            “Lho, maksudku aku iki duduhana, rupane yoopo sekolahe iku. Ono opo ndek kono.” Amik mendesakku.
            Pertanyaan ini tidak akan mampu kujawab sebelum aku benar-benar resmi menjadi murid di sana.
            Masalahnya, aku tidak pernah mencari tahu seperti apa rupanya IC itu. Satu-satunya info yang kucari tentang IC adalah pendaftaran. Selebihnya, tidak ada. Luaskah IC, seperti apa gedung sekolahnya, apakah rindang atau sejuk, bagaimana wujud seragam yang digunakan siswanya, aku benar-benar tidak tahu.
            Alasannya, aku terlalu takut mencari tahu. Aku orang yang mudah berimajinasi. Jika aku mengetahui seragam IC, aku akan membayangkan diriku yang terbalut dalam seragam orang pintar itu. Bahkan mungkin saja aku tidak hanya menggambarnya di benakku, kugambarkan itu semua dalam kertas di buku harianku. Aku membayangkan diriku duduk di kelas dan memperhatikan guru yang sedang mengajar. Lalu saat pengumuman menyatakan aku tidak lolos, kandaslah semua bayangan itu. Hancurlah hatiku dan aku bisa galau sepanjang hari. Resikonya terlalu besar.
            Sore yang panas, di Sidoarjo kala itu, kudiamkan Amik. Maafkan cucumu, Mik.
*
19 Juni 2013. Hari pengumuman.
            Aku telah berkali-kali membuka website pendaftaran, tempat di mana seharusnya pengumuman diumumkan. Namun hasilnya tetap sama saja. Server eror. Mungkin server mendadak down karena disambangi terlalu banyak pengunjung. Salahkan dirimu, Server, kenapa kau buat kami penasaran begini.
            Antara kesal dan putus asa, seharian itu aku habiskan berbaring di kasur. Kukirim pesan pada teman-temanku─Pemuda Organisasi, Idaman Guru, dan Gadis Mancung. Aku meminta mereka untuk memberitahuku seandainya server pelit itu sudah agak murah hati.
            AAH! AKU KETIDURAN!!
            Handphoneku terus gemetar. Kasihan. Pasti ketiga temanku yang sama paniknya denganku itu sudah meneror handphoneku habis-habisan.
From: Pemuda Organisasi
Hei, pengumumannya udah ada
Aku nggak lolosL
Kamu gimana?
            APAAA???????????????
            Aku tidak bisa santai sekarang. Aku super nerveous. Maksudku, kalian pasti tidak mengenal Pemuda Organisasi. Saat wisuda kemarin, Pemuda Organisasi dinobatkan sebagai Bintang Pelajar di angkatanku lantaran prestasinya yang bejibun memenuhi pajangan piala di almari sekolah, dedikasinya yang besar untuk organisasi sekolah, dan rankingnya yang selalu di angka satu, dua, atau tiga. Dia juga mendapat nilai NEM tertinggi di sekolah.
            Alamak, kalau dia saja tidak lolos, bagaimana nasibku?
To: Pemuda Organisasi
Gadis Mancung sama Idaman Guru gimana?
From: Pemuda Organisasi
Idaman Guru juga nggak lolos... kalau Gadis Mancung aku nggak tau. Kamu belum ngecek?
To: Pemuda Organisasi
Itu.. aku ketiduran hehehehe
            Aku sudah bisa menduga bahwa Idaman Guru mungkin saja tidak lolos. Bukan karena kemampuannya, dan kalau soal itu tentu saja aku tidak bisa sembarang meremehkannya. Perkaranya adalah Nyai, pengurus di pondok pesantren tempat kami tinggal. Saat kami mohon doa restu kepada beliau untuk mengikuti tes ini, pesan yang beliau sampaikan pada kami berdua berbeda.
            “Jauh sekali mau sekolah di Jakarta. Kalau begitu, hati-hati, ya.” Ujar beliau saat aku berpamitan.
            Sedangkan pesan yang diterima Idaman Guru, “Ngapain, sih, sekolah jauh-jauh? Sekolah di Gondanglegi saja sambil melanjutkan mondok.” Jelas-jelas pesan itu memiliki makna terselubung untuk mencegah Idaman Guru pergi meninggalkan pondok kami. Idaman Guru seorang santri teladan yang patuh. Setiap guru tidak ingin melepas murid seperti Idaman Guru. Aku mengerti mengapa Nyai menahannya.
            Walau diam-diam aku juga cemburu.
            Ah, dua temanku yang begitu super tidak diterima. Aku jadi makin nervous. Rasanya aku tidak perlu membukanya.
            Namun, otak baru bangun tidurku itu bertindak spontan tanpa bisa kularang. “IBU, AYO KITA CEK SEKALI LAGI PENGUMUMANNYA! DUA TEMANKU TIDAK LOLOS!” teriakku lantang. Ibuku yang sedang menggenggam ulekan spontan melemparkannya hingga menatap tembok dapur yang malang. Ayahku tergesa-gesa menyerahkan laptop yang sedang ia gunakan untuk bekerja.
            Tapi kami semua lupa: TIDAK ADA MODEM ATAUPUN WIFI.
            “Aaah!” seruku semrawut. “Modem? WiFi? Bagaimana caranya akses internet?”
            “Kemari, biar Mas bantu pakai handphone Mas.” Kakakku datang dengan santai dan menunjukkan handphone di telapak tangannya.
            “Bagaimana caranya?”
            “Adalah. HP canggih.”
            Ah, ya. Sebenarnya aku kesal dengan sikap sengaknya. Tapi itu bukan perkara penting sekarang. Setidaknya dia mau membantuku.
            Dengan sigap, kakakku melakukan aksi yang setelah beberapa bulan kuketahui sebagai tethering. Laptop merah milik ayahku terhubung sudah dengan internet. Cepat-cepat aku membuka web pendaftaran.
            Pelan-pelan aku memasukkan data loginku. Muncul halaman beranda. Oke, masih beranda.
            Aku dan ibuku menatap laptop tanpa berkedip dari jarak 50 cm. Kakakku mengawasi di balik punggung kami. Ayahku berwudhu, berniat menuju ke langgar karena adzan maghrib akan segera berkumandang.
            Pointerku takut-takut mendekati tulisan “Halaman Seleksi” yang tampak kokoh bertengger diantara tulisan lain. Bedanya, hari ini dia terlihat sangat angkuh. Jempolku yang basah menekan mouse yang sejak tadi kugenggam.
            Dan terjadilah.
            Selamat! Anda─
            “Alhamdulillah! Alhamdulillah!” ibuku telah berseru kencang dan memeluk tubuhku yang masih terpaku. Dekapannya begitu erat. Apa yang terjadi?
            Sembari mengintip dari balik lengan ibu yang melingkari kepalaku, aku membaca tulisan itu baik-baik.
            Selamat! Anda dengan nomor tes 134222xxx LULUS sebagai calon siswa di MAN Insan Cendekia Serpong.
            OH, TERNYATA ....
            Aku balas memeluk ibuku tak kalah erat dan berteriak lebih heboh. Ibuku sudah menitikkan air mata. Kakakku mengucap hamdalah dan mengelus dada, lantas menghembuskan nafas panjang melihat tingkah ibu dan adiknya. Ayahku yang datang bertanya-tanya dan ikut legowo setelah kakakku menjelaskan.
            Tetangga yang berjalan menuju langgar menyempatkan diri untuk berhenti sejenak di depan rumah kami. Heran apa yang sedang terjadi di rumah itu karena mendengar teriakan wanita yang begitu histeris.
            Ibuku benar-benar merasa lega, karena sebelumnya beliau khawatir tak karuan, cemas antara aku lolos atau tidak. Aku tidak punya cadangan sekolah lagi. Aku terlalu percaya diri menolak sekolah di Malang I dan pilihan terakhirku hanya Aliyah Singosari. Hari ini adalah hari terakhir pendaftaran Aliyah Singosari. Saking parnonya, ibuku sudah membeli formulir pendaftaran yang harganya sekitar lima puluh ribu rupiah, berjaga-jaga seandainya aku tidak diterima di IC. Namun sekarang, biaya yang telah beliau keluarkan untuk formulir itu seolah lunas terbayarkan dengan pengumuman yang telah membuat kami kepalang girang.
            Insan Cendekia.
            Aku akan menghadapimu.



            

2 comments:

  1. aaaaaaaaaaaaaa greget banget bacanya kak!! aku tanggal 18 maret 2017 bakalan ikut tes tertulis man insan cendekia di bengkulu. agak takut karena belum tau bentukan soalnya dll hmm smg aku juga kuat kaya kaka hihii

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah alhamdulillah bakalan punya adik kelas baru nih :) bismillah semangat ya dek! Jangan lupa belajar heheh karena keberuntungan adalah nama lain dari kerjas keras :) kudukung penuh!!

      Delete

About Me

PeketoWritan

Peketo hanyalah nama julukan yang diberikan teman-teman penulis sejak kecil dan akhirnya ia gunakan sebagai nama pena. Kelahiran Malang dan tidak betah panas. Sangat menyukai lemon dan warna kuning. Suka menggambar, membaca novel dan buku pengetahuan umum, serta menulis cerita. Rutinitasnya membaca Webtoon tiap jam sepuluh malam.




Recent Posts

recentposts

Random Posts

randomposts